MOJOKERTO. Sekilasmedia. Com-Satu fakta yang jarang diungkap tentang Soekarno, Presiden pertama RI, bahwa dirinya merupakan seorang guru besar dalam Ilmu Ushuluddin bidang dakwah. Bahkan di kalangan para pendukung gagasannya, ini adalah detail peristiwa yang sering luput dari sorotan. Tidak heran, Sang Proklamator lantas sekedar dicitrakan sebagai sosok nasionalis tulen. Menyelami jejak pribadi beliau tentu tidak bisa sekedar terjebak dalam pandangan hitam putih. Pribadinya merupakan sebuah kompleksitas yang tidak bisa didekati hanya sebagai sebuah kenyataan yang tunggal.
Penganugerahan gelar kehormatan tersebut dilaksanakan setelah mengingat peran dan jasa Soekarno terhadap kemajuan Islam, baik sebagai seorang “da’i” maupun negarawan. Gelar ini diperoleh dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta pada Rabu, 2 Desember 1964 atau bertepatan dengan 27 Rajab 1384 H dimana umat Islam di Indonesia sedang memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Dalam acara tersebut Ir. Soekarno secara resmi memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Ushuluddin bidang dakwah.
Prof. K.H. Saifuddin Zuhri dalam pidatonya, bertindak sebagai promotor, mengingatkan kembali pidato Soekarno dalam Amanat Kenegaraan 17 Agustus 1947 di Yogyakarta bahwa bangsa yang tidak dipimpin oleh Tuhan akan diperintah oleh orang-orang yang dhalim. Keyakinan yang sama inilah yang menyemangati Soekarno dalam Manifesto Politik dimana Ketuhanan Yang Maha Esa dinyatakan sebagai landasan idiil untuk merealisasikan Dasar dan Tujuan Revolusi Indonesia. Terkait harapan besarnya itu ia menyatakan tekad: “Asal kita tetap melalui jalan yang diridhoi Allah Rabbul’alamiin, kita nanti pasti mencapai tempat tujuan juga”. (Lihat: Gema Islam No. 64 Th. III/ 15 Desember 1964)
Tokoh Nahdhatul Ulama’ yang menjabat selaku Menteri Agama RI itu juga memuji langkah Soekarno dalam menyelamatkan keutuhan bangsa dengan menetapkan kembali kedudukan Piagam Jakarta (22 Juni 1945) melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam dekrit tersebut, Soekarno tidak sekedar memberlakukan kembali UUD 1945, namun memposisikan Piagam Jakarta sebagai jiwa dan menjadi satu kesatuan dengan konstitusi tersebut. Piagam Jakarta yang telah menimbulkan berbagai prasangka, berkat prakarsa Soekarno telah memperoleh kedudukan yang jelas. Melalui kebijakan ini, meminjam ungkapan Prof. Dr. H. Ruslan Abdulgani, K.H. Saifudin Zuhri menyatakan bahwa Soekarno telah mempersatukan umat Islam dan sekaligus umat agama lain dalam bingkai keindonesiaan.
Saifuddin Zuhri juga mengingatkan kembali bahwa Soekarno telah bertekad untuk membela Islam melalui permusyawaratan dan perwakilan. Dalam banyak agenda Sang Presiden ini telah berupaya untuk mendorong agresivitas umat Islam menuju kebangkitan. Umat Islam diharapkan oleh beliau agar tidak sekedar pandai menggerutu melihat kemajuan misi Kristen, namun harus semakin menginsyafi diri dan melakukan perubahan. Syariat Islam, menurut Soekarno, tidak hanya mengajarkan persoalan halal, haram, makruh, Sunnah, mubah, dan Fardhu saja, namun Islam dalam tataran praktis harus tetap pada jalur sebagai agama perjuangan dan kemajuan. (Ibid, p. 32)
Dalam pidato pengukuhannya Soekarno selaku promovendus menggugah kaum muslimin agar berusaha menggali api Islam di dalam dada mereka. Pesan ini sekaligus disertai himbauan untuk mempertinggi wawasan dalam memahami persoalan-persoalan dan seluk beluk ajaran Islam sebagai agama yang universal dan dapat diterapkan dimana saja. Ia juga memberikan amanat agar umat Islam meninggalkan tradisi keagamaan yang kolot dan konvensional sebab pernah dalam satu masa sejarah Islam hal ini menyebabkan kemunduran umat sampai pada titik nadhir. Ia menghendaki kebangkitan tradisi ilmu dalam Islam juga menjangkau bidang keilmuan seperti ilmu alam, ilmu sosial, dan lain-lain. Sebab dengan memahami ilmu-ilmu tersebut, kebenaran makna Al Quran dan hadits, menurutnya, akan semakin dapat dipahami.
Kedekatan Soekarno dengan umat Islam menjelang sandyakala kepemimpinannya telah banyak dibicarakan. Keberpihakan itu nampaknya semakin menguat pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan sadar ia telah menisbahkan bahwa dirinya merupakan kader Muhammadiyah dalam penutupan Muktamar Setengah Abad (1962) organisasi Islam bentukan K.H. Ahmad Dahlan tersebut. Mungkin saja ada yang menuding bahwa semua langkahnya bermuatan politis. Ia memang sosok politikus yang peran-perannya tidak dapat dipisahkan dari perpolitikan. Namun tetap saja penilaian semacam itu tidak bisa menepis kenyataan bahwa Soekarno adalah seorang muslim dan ia merupakan Guru Besar Luar Biasa Kehormatan dalam Ilmu Ushuluddin bidang dakwah. Maka perlu kiranya umat Islam tidak sekedar menyebut atribut “insinyur” yang melekat dengan namanya, namun juga dengan “Doktor (HC) Soekarno”. Ungkapan ini setidaknya merupakan sebuah bentuk penghormatan dan mengingatkan tentang ‘keakraban’ yang telah dibangun oleh Sang Proklamator bersama bu dan terhadap Islam. [Susiyanto/ Gus kandeg]