Timboel Siregar
Oleh: Timboel Siregar
Editor: Siswahyu
JAKARTA (sekilasmedia) Kemarin ada laporan dari peserta JKN di Tangerang. Pasien dimintain biaya BHP Nebulizer dan tindakan Nebulizer ketika berobat ke Klinik “A” di Tangerang. Biayanya Rp. 90 ribu.
Pasien lapor ke saya, dan saya edukasi bahwa hal itu tidak benar. Semua tindakan medis di klinik sudah dibayar oleh kapitasi sehingga pasien JKN tidak perlu bayar lagi. Si pasien tidak mau dirujuk ke RS agar mendapatkan tindakan medis tsb dengan tanpa membayar.
Setelah saya advokasi dengan meminta pejabat BPJS Kesehatan pusat membantu kasus ini, akhirnya pihak Klinik “A” membayarkan kembali biaya tersebut ke pasien JKN. Tentunya kejadian ini kerap kali terjadi dan BPJS Watch terus mengadvokasi untuk masalah2 seperti ini.
Dari kejadian di atas, ada dua hal yg perlu dikomentari :
1. Kejadian di atas membuktikan bahwa pasien JKN memang banyak yang tidak tahu tentang hak2nya di faskes pertama maupun faskes lanjutan sehingga faskes kerap kali membebani biaya ke peserta JKN. Karena ketidaktahuan tsb maka pasien JKN harus mengeluarkan biaya dari kantongnya sendiri untuk membiayai tindakan medisnya. Fakta ini mendukung dan membuktikan kajian Prof. Budi bahwa OOP (Out Of Pocket) menunjukkan tren meningkat. Tentunya OOP merugikan pasien JKN.
OOP yg semakin meningkat memang disebabkan beberapa hal, yaitu akibat Regulasi dan Pengetahuan.
Dari sisi Regulasi, Permenkes No. 4 tahun 2017 yang membuka celah pasien naik kelas perawatan dgn membayar selisih INA CBGs klas perawatan, merupakan bentuk OOP yang dilegalkan. Padahal ada Permenkes no. 28/2014 yg membolehkan pasien naik klas perawatan, ketika hak ruang perawatan penuh, tanpa harus membayar lagi.
Demikian juga skema denda yang diatur dalam Perpres no. 19/2016, bisa dibayar berkali kali oleh pasien JKN karena RS merujuk pasien. Ada “fraud” yg dilakukan RS yaitu dengan menerima pasien lalu setelah dirawat sehari dua hari, besoknya dirujuk ke RS lain. Seharusnya kalau RS tidak mampu ya rujuk aja langsung, tanpa harus basa basi merawatnya. Dgn “fraud” ini maka pasien harus bayar denda di RS awal dan RS tujuan rujukan. Pasien akan bayar denda lebih dari sekali agar bisa keluar Surat Penjaminan (SEP). Ini pun bentuk OOP yang dilegalkan.
Dari sisi Pengetahuan, dengan ketidaktahuan pasien atas hak2nya membuat faskes cenderung membebani biaya ke pasien. Dengan ketidaktahuan pasien JKN kerap kali pasien disuruh beli obat sendiri dgn alasan obat habis di apotiknya, pasien membayar tindakan medis ttt, pasien disuruh beli darah sendiri, dsb. Ini bentuk OOP yang sering terjadi di faskes.
2. Bahwa dengan ketidakmauan pasien JKN di Klinik “A” tsb untuk dirujuk ke RS agar mendapat pelayanan BHP Nebulizer dan tindakan Nebulizer tanpa membayar, maka pasien tsb sudah membantu BPJS Kesehatan, yaitu BPJS Kesehatan tidak perlu mengeluarkan biaya INA CBGs utk kasus tsb. Klinik sudah bisa menangani dan tidak perlu merujuk.
Jadi, menurut saya, dengan dimilikinya pengetahuan yang mumpuni ttg hak2nya di faskes oleh para peserta JKN maka peserta JKN bisa membantu BPJS Kesehatan mengurangi biaya INA CBGs yg akan keluar. Ya, pengetahuan peserta JKN yang mumpuni akan berpotensi menurunkan defisit pembiayaan JKN. Apalagi kalau pengetahuan tsb didukung oleh hadirnya customer care BPJS Kesehatan maka pasien JKN dan BPJS Kesehatan akan saling melengkapi untuk menekan munculnya INA CBGs dan OOP.
Ya, permasalahan yg terjadi adalah masih banyak peserta JKN kurang memiliki pengetahuan ttg hak2nya, sementara regulasi JKN kerap kali berubah-ubah. Ditambah, customer care BPJS Kesehatan yang tidak juga kunjung hadir, walaupun pada pertemuan Rembug Nasional Kesehatan tahun lalu di Kompleks Kemayoran, Dirut BPJS Kesehatan sudah menjanjikannya.
Saya berharap BPJS Kesehatan terus melakukan edukasi publik ttg JKN kepada peserta JKN secara berkesinambungan. Iklan2 yang dibuat BPJS Kesehatan harusnya diisi dengan edukasi publik ttg hak2 peserta di faskes, dan segerakanlah hadirnya customer care yang bisa membantu peserta JKN di faskes.
Dengan dua upaya ini saya yakin defisit pembiayaan JKN akan berkurang di tahun ini.
(Pinang Ranti, 6 Maret 2018. Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch).