Penulis: Mas Nafiq.
Editor : Wibowo
Mojokerto, Sekilasmedia. Com-Kesibukan masyarakat Muslim Jawa, termasuk di Mojokerto pada masa lalu dalam menyambut hari raya Idul Fitri atau yang biasa dikenal sebagai Hari Lebaran tidak jauh berbeda dengan jaman sekarang. Banyak ritual dilakukan menjelang akhir bulan ramadhan dimana masyarakat meningkatkan amal ibadahnya pada 10 hari terakhir bulan suci tersebut. Serangkaian ritual yang dilakukan dengan sebutan maleman. Bagaimana mereka merayakan kegembiraannya di Mojokerto ?
Orang Belanda menyamakan hari Lebaran dengan pesta tahun baru di Eropa, karena kemeriahan yang ada di jawa maka disebutnya sebagai Inlandsch Nieuwjaar, Tahun baru Pribumi. Sebutan yang menurut Kromodjojo Adinegoro, Bupati Modjokerto, salah adanya. Untuk meluruskan kesalahan penamaan itu dia kemudian menulis artikel berjudul Op Merkingen Aangaade De Lebaran, Komentar Tentang Lebaran, di Jurnal Oudheid Kundig Verslag yang terbit tahun 1923.
Pada saat maleman yang dikini sebagai saat turunnya Lailatul Qodar, malam seribu bulan yang merupakan waktu tepat berbuat kebaikan. Saat Allah akan meipatgandakan semua amal kebajikan sehari disetarkan dengan amal kebajikan selama seribu bulan. Semua warga desa dengan dipimpin oleh lurah atau Dessahofd akan melakukan sedekah massal yang dipusatkan di pendopo rumah kepala desa. Sedekah itu ditujukan pada ahli kubur yang telah meninggal dunia. Biasanya waktu yang digunakan adalah hari ke-20, 22, 24 dan seterusnya, yaitu hari menjelang puasa pada hitungan ganjil. Setiap desa bebas menentukan kapan sedekah massal itu dilaksanakan di desanya.
Setelah bulan puasa berakhir maka tibalah bulan syawal yang pada tanggal 1 dirayakan sebagai Idul Fitri atau orang Jawa menyebut sebagai hari Lebaran. Orang Eropa mengasosiasikan hari Lebaran dengan perayaan tanggal 1 januari, hari tahun baru. Penyamaan itu tampaknya mengacu pada kesamaan waktu perayaan tepat pada tanggal 1 awal bulan. Memang di Jawa tidak ada kemeriaahan yang sedemikian sibuk selain hari Lebarang, seperi sibuknya orangeropa menyambut awal tahun masehi. Peringatan tahun baru Islam atau tahun Hijriyah yang dilakukan pada bulan Muharram atau bulan Suro tidaklah semeriah perayaan 1 Syawal. Bagi orang Jawa tanggal 1 Suro lebih banyak digunakan untuk menyepi, berkontemplasi menenangkan dirisambil mengoreksi perjalanan hidup di tahun yang lalu. Orang Jawa akan berdoa agar diberi kemudahan menjalani hidup di tahun selanjutnya. Perilaku yang berbeda dengan orang eropa saat menyambut tahun barunya.
Pada saat itu, bupati akan mengadakan pasowanan. Semua bawahan akan datang menghadap pada atasannya. Resepsi itu dimulai pada jam 10 pagi. Sebelumnya, Bupati mengirimkan surat pemberitahuan adanya pasowanan lebaran tersebut pada kolegata orang Eropa. Para pejabat eropa datang dengan pakaian kebesarannya yang kemudian disambut dengan toast minum sampanye, seperti orang eropa merayakan tahun baru di negaranya. Sambutan sampanye itu sebagai bentuk penghormatan pada tamu non muslim yang datang memenuhi undangan Bupati. Orang Eropa itu tidak lupa memberikan ucapan selamat merayakan Tahun Baru Pribumi pada Bupati.
Setelah tamu orang eropa meninggalkan lokasi pasowanan, barulah kegiatan Lebaran dilakulan. Satu persatu para bawahan menghadap memberi hormat. Selanjutnya mereka mencium kaki Bupati sebagai tanda tunduk serta meminta maaf pada atasannya. Proses itu yang kemudian menjadi tradisi sungkeman. Para pejabat pribumi yang datang jauh dari pedalaman tidak perlu risau dengan biaya yang dikeluarkan. Ongkos perjalanan ditanggung dan dimasukkan sebagai pengeluaran dinas berdasarkan Bijblad nomer 4043. Menurut Kromodjojo, tradisi cium kaki itu lambat laun menghilang dan digantikan dengan kiriman kartu ucapan. Tetapi adat istiadat maleman masih terus berjalan.
Krodjojo juga menyebutkan adanya perayaan hiburan dan permainan rakyat yang digelar di kota pada hari raya itu. Adanya keramaian hiburan itu menyedot perhatian rakyat untuk mendatanginya. Keramaian semakin meriah dengan bunyi petasan yang biasa diselut mulai saat maleman sampai pesta Lebaran selesai. Perayaan Lebarang berakhir setelah 7 hari. Selesainya lebaran ditandai dengan hari raya ketupat, yaitu beras yang dutanakak dalam janur yang dikepang sedemikian rupa.
Perayaan yang sama juga dilakukan di desa. Rakyat datang ke rumah kepala desa guna memberi hormat sambil mencium kaki. Setelah itu mereka saling memberi ucapan selamat dan saling mengunjungi. Kunjungan utamanya pada orang tua dan sesepuh yang ada di desa.
Yang menarik dari tulisan Kromodjojo Adinegoro itu adalah ungkapannya bahwa Perayaan Lebaran merupakan tradisi jawa yang memadukan tradisi Hindu dengan budaya Islam. Dari serangkaian penelitian yang dilakukannya, pada masa Majapahit telah ada perayaan Shradha yang jatuh pada awal bulan yang diikuti dengan keramaian di masyarakat desa. Tradisi yang kemudian dilanjutkan dengan memberi warna Islam yang kita kenal sebagai perayaan lebaran.