Reporter: tim
Editor: Siswahyu
SURABAYA (sekilasmedia.com) World Health Organization/WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia/OKD yang bernaung dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB, red.) beberapa hari lalu secara resmi secara internasional menyatakan bahwa KECANDUAN GAME entah itu melalui hp dan video maupun piranti elektronik lain, telah dinyatakan sebagai bentuk suatu penyakit. Kecanduan adalah berlebihan atau melebihi batas yang sering kali disebut sebagai overdosis. Kecanduan main game dimasukkan ke dalam Gangguan Mental Dan Adiktif dalam Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD, red.).
*KECANDUAN GAME BISA DIPERALAT PIHAK ASING SEBAGAI BAGIAN PERANG SECARA PROXY WAR*
Kecanduan yang berkembang dalam dunia anak-anak terutama, meskipun bahkan tak jarang mengenai orang ‘dewasa’ umumnya, diantaranya dipicu oleh berbagai hal rasa asyik dan adanya imbalan poin atau bahkan uang dari pihak operator. Sehingga coba dan coba dan terus coba, tanpa mengenal batas bahkan menjauhkan kehidupannya dari kehidupan sosial yang standar.
Menurut R.Tri Harsono Forum Peduli Kerakyatan-Sejahtera (FPK-S) hilangnya kecenderungan peduli soal sosial merupakan penyakit yang berbahaya di kebanyakan negara-negara berkembang termasuk di Indonesia yang soal pendidikan mental pun kurang adanya. Bahkan jika terus menerus terjadi di Indonesia maka sudah bisa dimanfaatkan negara lain sebagai salah satu senjata perang dalam Proxy War. “Indonesia sedang diupayakan dilemahkan dengan secara Proxy War seperti pernah diungkapkan ketika Panglima TNI dijabat Jenderal Gatot Nurmantyo,” ungkap R.Tri Harsono.
*KECANDUAN MEDSOS YANG BERLEBIHAN JUGA RUSAK BANGSA PUN PERLU DINYATAKAN SEBAGAI PENYAKIT*
Menurut R.Tri Harsono, jika WHO telah menetapkan kecanduan GAME sebagai penyakit maka otomotis harusnya juga berlaku di Indonesia dan memerlukan perhatian ekstra pemerintah Indonesia dari pusat hingga Provinsi bahkan Kabupaten/Kota dan seterusnya. Namun ada sejumlah hal lain yang menurutnya pemerintah Indonesia perlu inisiatif untuk mengusulkan ke WHO, termasuk soal KECANDUAN MEDIA SOSIAL sebagai penyakit. Apalagi kecanduan media sosial memiliki efek yang cenderung lebih berbahaya.
Kecanduan media sosial yang berlebihan pun sebenarnya telah menimbulkan penyakit yang bahkan tidak disadari oleh para pengidapnya. Hal tersebut lebih banyak terjadi mengiringi selama proses Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada serentak di 171 daerah di Indonesia yang Hari H-nya dilaksanakan Rabu 27 Juni 2018 kemarin. Efeknya yang lebih cenderung berbahaya misal bahkan bisa memicu disintegrasi masyarakat yang bahkan kemudian bisa menyebabkan disintegrasi bangsa dan negara.
*PENYAKIT DI MEDSOS DENGAN SALING HUJAT MEMBAHAYAKAN NEGARA APALAGI SELAMA PILKADA SERENTAK 2018 APALAGI MENUJU PILPRES 2019*
R.Tri Harsono memantau banyak media sosial, juga mendapat info dari sejumlah pihak pemakai media sosial, tentang saling hujat di media sosial. Bahkan antar pemeluk sesama agama yang sama, tak jarang saling menyerang dan sepertinya menganggap hal tersebut sebagai hal biasa. Diantara faktornya, kemungkinan karena tingkat intensitas saling hujat yang terlalu sering dan dianggap biasa.
Menurutnya keburukan yang terlalu sering diulang-ulang dan terus menerus maka bisa dianggap biasa saja atau bahkan dianggap baik. Sedangkan hal tersebut sudah jauh dari standar etika yang biasa berlaku pada masyarakat Indonesia. Dia memberi contoh soal Pilgub Jatim dimana ada dua Cagub-Cawagub, Khofifah Indar Parawansa – Emil Dardak dan Syaifullah Yusuf – Puti Guntur Soekarnoputri.
*SOAL DUA CAGUB JATIM YANG SAMA-SAMA NU PUN SANGAT TINGGI SALING HUJAT ANTAR PENDUKUNGNYA*
R.Tri Harsono juga memantau dan mendapat ‘laporan’ dari berbagai pihak selama proses sekitar Pilgub Jatim yang puncaknya pada Hari H 27 Juni 2018. Menurutnya terlalu banyak saling hujat antar anggota bahkan tokoh-tokoh NU sendiri, hingga saling fitnah dan saling ancam melaporkan yang tentu bisa menjadikan kurang kondusif hubungan antar warga NU sendiri dan terhadap sesama seagama.
Namun ada dari medsos pula yang mengingatkan agar tidak terpecah-belah antar warga NU maupun sesama seagama karena dikhawatirkan memang ada agenda besar memecah-belah antar warga NU dan sesama seagama. Target utamanya bukan di Pilgub Jatim maupun Pilgub-Pilgub di Pulau Jawa yang mayoritas warga NU dan sesama seagama.
*MEMECAH-BELAH WARGA NU DAN SESAMA AGAMA DENGAN TARGET AGAR TAK MENANG DALAM PILPRES 2019?*
Mengenai memecah-belah warga NU dan sesama seagama melalui media sosial seperti yang diinfokan sejumlah pihak, menurut R.Tri Harsono hal tersebut sangat mungkin seperti yang diinfokan bahwa targetnya bukan di Pilgub Jatim ataupun Pilgub-Pilgub di Jawa saja, namun dalam kerangka memenangkan Pilpres 2018 oleh pihak yang tidak suka jika NU dan sesama seagama bersatu.
Kalaupun ada porsi yang diberikan, maksimal adalah Cawapres, dan opsi selanjutnya adalah jatah sejumlah menteri. Apalagi mengingat NU sudah kian terpecah-belah sejak Muktamar NU 2015 di Jombang yang saling berhadapan ‘kubu’ Gus Sholah-KH.Hasyim Muzadi dkk VERSUS ‘kubu’ KH.Said Aqil Siradj-Muhaimin Iskandar-Syaifullah Yusuf dkk yang dinilai sebagai perseteruan kubu khittah NU versus kubu yang dinilai super politis. Meskipun masing-masing kemudian juga berharap ikut menguasai politik pemerintahan di Jatim, salah satunya ‘diwujudkan’ dalam Pilgub Jatim dimana Muhaimin Iskandar-KH Said Aqil Siradj dkk mendukung Syaifullah Yusuf, sedangkan Gus Solah-KH.Hasyim Muzadi ‘mengangkat’ Khofifah sebagai Cagubnya ‘dibumbui’ dengan gaetan-gaetan sejumlah partai politik. Meskipun isteri KH.Aqil Siradj yang anggota DPR RI PKB konon justru mendukung Khofifah.
*PILGUB JATIM DINILAI SEBAGAI REPRESENTASI TERTINGGI UJI-COBA JOKOWI MENUJU PILPRES 2019*
Bahkan dari sejumlah medsos pun berseliweran komentar dan kadang ‘sok’ analitis mengenai hubungan Pilgub Jatim, juga Pilgub-Pilgub di Jawa, dengan peta menuju Pemilihan Presiden 2019. Bahkan ada yang menilai Pilgub Jatim 2018 merupakan representasi uji-coba tertinggi Presiden Joko Widodo selaku incumbent untuk menyiapkan diri lagi untuk maju lagi dalam Pilpres.
“Memang banyak hal yang kebablasan bertebaran dalam medsos. Meskipun ada juga yang berusaha bijak dan analitis positif. Namun yang terlalu banyak kebablasan negatif perlu dinyatakan sebagai penyakit kecanduan medsos,” ungkap R.Tri Harsono Forum Peduli Kerakyatan-Sejahtera (FPK-S). Bahkan dari temu darat informal antar pengguna medsos juga muncul analisa bahwa Pilgub Jatim bisa menjadi acuan Jokowi untuk memilih Cawapres antara Airlangga Hartarto atau Agus Harimurti Yudhoyono atau Soekarwo atau bahkan Khofifah. Muhaimin Iskandar dan sejumlah Cawapres lain tak masuk?
*KING MAKER POROS JOKOWI-SOEKARWO, KEKELIRUAN PDIP MENGGANTI ANAS DENGAN PUTI?*
Bahkan ada yang menyebut king maker Pilgub Jatim adalah poros Soekarwo-Jokowi yang didukung SBY dan akan berpengaruh menuju Pilpres 2019? Konon sebentar lagi, usai kejelasan hasil Pilgub Jatim, peta pun akan mengerucut Golkar-Nasdem-Demokrat-PPP. Koalisi yang telah diuji-coba Jokowi untuk memastikan kendaraan alternatif?
R.Tri Harsono juga menyebut hal tersebut sangat mungkin. Menurutnya ada pula yang menyebut bahwa kekalahan koalisi PDIP di Jatim yang menjadi faktor utama diantaranya adalah memaksakan mengganti Cawagub dari Abdullah Azwar Anas menjadi Puti Guntur Soekarnoputri. Yang hal tersebut konon tak lepas dari perebutan pengaruh orang-orang sekitar terhadap Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum DPP PDIP sekaligus dengan harapan salam kerangka suksesi kepemimpin di DPP PDIP. Ada yang menyebut meskipun tidak muncul ke permukaan, konon momentum Pilkada 2018 serentak dan menuju Pilpres 2019 menjadi ajang tiga kubu yang terselubung di internal PDIP?
*GARDI GAZARIN: KEBABLASAN DALAM PENGGUNAAN MEDSOS IKUT MEMELENCENGKAN CITA-CITA PARA PAHLAWAN DAN PROKLAMATOR*
Gardi Gazarin pengamat Masalah Sosial, Kamtibmas Dan Kepolisian sepakat dengan sejumlah poin yang menyatakan bahwa penggunaan media sosial yang kebablasan negatif memang pantas diusulkan ke WHO PBB agar juga dimasukkan sebagai penyakit internasional. Menurutnya efek tersebut sangat terasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara apalagi bagi Indonesia yang merupakan negara yang sedang membangun dan berkembang.
“Penggunaan media sosial yang kebablasan negatif memang layak diusulkan ke WHO PBB agar juga dimasukkan sebagai penyakit internasional. Apalagi hal tersebut bukan hanya penyakit yang berbahaya, namun juga bisa memelencengkan dari fokus pada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 yang telah diperjuang para pahlawan dan para Proklamator, Bung Karno-Bung Hatta dan kawan-kawan,” tandas Gardi Gazarin yang juga konsultan senior Kamtibmas dan pernah masuk 12 Besar calon anggota Kompolnas ini. Pendapat Anda? Sms atau WA kesini= 081216271926.