Malang,sekilasmedia.com- Peringatan 100 hari wafatnya Romo Benny Susetyo digelar dengan menggelar doa misa kudus dan juga mengadakan sarasehan bertajuk “Merajut Persaudaraan Sejati, Menjaga Pancasila, Merawat Keberagaman: Romo Benny dari Titik Nol sampai Titik Akhir”. Senin (13/1/2024) malam.
Acara ini diinisiasi oleh keluarga dan sahabat dekat Romo Benny sebagai wujud penghormatan terhadap perjuangan dan pemikiran beliau yang dikenal sebagai tokoh pluralisme dan toleransi.
Dalam sarasehan tersebut, Koordinator Kegiatan, Ari Nurcahyo, menyampaikan bahwa acara ini bukan sekadar mengenang Romo Benny, tetapi juga bertujuan untuk menyemai gagasan dan semangat perjuangannya.
“Kami ingin memotret perjalanan Romo Benny dari awal karirnya di Situbondo, Malang, hingga Jakarta. Fokusnya adalah keberagaman, toleransi, dan menjaga Pancasila. Romo Benny itu seperti Gus Dur-nya umat Katolik,” ungkap Ari.
Tiga Chapter Perjuangan Romo Benny
Sarasehan ini memotret perjalanan hidup Romo Benny yang diuraikan dalam tiga chapter utama, yaitu:
Titik nol perjuangan Romo Benny dimulai dari Situbondo, tempat penugasan pertamanya setelah ditahbiskan menjadi imam. Peristiwa Kamis Kelabu tahun 1996 di Situbondo, di mana terjadi pembakaran tempat ibadah, menjadi momen penting yang mengawali kiprah Romo Benny dalam isu kerukunan antar umat beragama. “Romo langsung terjun mengadvokasi korban dan membangun hubungan lintas agama,” kata Ari.
Di Malang, Romo Benny aktif sebagai imam Keuskupan Malang dan tokoh lintas agama. Ia terlibat dalam pendirian Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) bersama tokoh lintas agama seperti Gus Muslich dan Kiai Nur Sodik. “Romo adalah sosok yang inklusif dan egaliter. Ia mampu merangkul semua golongan dengan sikap rendah hati,” ujar Ari.
Sebagai Sekretaris Staf Khusus di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Jakarta, Romo Benny terus menyuarakan pentingnya menjaga keberagaman dan keindonesiaan. “Ia selalu menekankan bahwa kita adalah 100 persen beragama dan 100 persen Indonesia. Semangat ini harus terus kita warisi,” tegas Ari.
Sarasehan ini menghadirkan sejumlah tokoh lintas agama, seperti Pdt. Yetti Anggraini, KH. Noor Shodiq Askandar, Imam Muslich, RP Ignatius Ismartono, SJ., serta para sahabat dari berbagai agama dan organisasi. Para pembicara menggarisbawahi semangat inklusivitas Romo Benny yang mampu menjembatani perbedaan dan menjadi sahabat bagi semua kalangan.
“Romo Benny mengajarkan bahwa toleransi bukan sekadar slogan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Ia lebih sering berada di tengah masyarakat daripada di altar,” ungkap Ari, yang juga mengaku sebagai salah satu “santri” Romo Benny.
Harapan terakhir dari keluarga dan sahabat adalah agar semangat perjuangan Romo Benny dapat terus dilanjutkan oleh generasi muda. “Kami merindukan sosok seperti Romo Benny yang mampu menjadi penghubung dan perekat di tengah keberagaman. Semoga spirit ini dapat diteruskan oleh generasi berikutnya,” tutup Ari.
Acara yang berlangsung khidmat ini menjadi momen refleksi atas warisan nilai-nilai yang ditinggalkan oleh Romo Benny Susetyo, seorang imam Katolik yang hidupnya menjadi teladan inklusivitas, persaudaraan sejati, dan perjuangan menjaga keberagaman.
Penulis : S. Basuki.