Malang, sekilasmedia.com– Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah digodok menuai kritik tajam dari Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB), Prof. Dr. I Nyoman Nurjana, SH, MH. Dalam pandangannya, sejumlah pasal dalam rancangan tersebut berpotensi merusak sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System) yang selama ini menjadi dasar hukum acara pidana di Indonesia.
“Sistem peradilan pidana kita sudah memiliki mekanisme jelas berdasarkan KUHAP. Setiap lembaga penegak hukum memiliki kewenangan yang saling melengkapi, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan,” ujar Prof. Nyoman di kediamannya, Kamis (23/01).
Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP, yang mengatur bahwa masyarakat dapat melaporkan langsung ke kejaksaan jika polisi tidak merespons laporan mereka dalam waktu 14 hari. Selain itu, pasal tersebut juga memberikan kewenangan kepada jaksa untuk menerima laporan langsung dari masyarakat.
“Ini berpotensi merusak harmoni dalam sistem peradilan pidana kita. Kewenangan Polri sebagai penerima laporan sudah diatur dengan jelas dalam KUHAP dan UU Kepolisian. Menambahkan kewenangan serupa kepada kejaksaan justru dapat menimbulkan tumpang tindih dan ketidakpastian hukum,” tegasnya.
Prof. Nyoman juga menyoroti Pasal 111 Ayat 2, yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk menentukan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh kepolisian. Ia menilai hal ini bertentangan dengan KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Kewenangan ini seharusnya menjadi ranah pengadilan, bukan kejaksaan. Jika dibiarkan, ini dapat menciptakan konflik kewenangan yang serius,” ungkapnya.
RUU KUHAP juga dinilai memperluas kewenangan kejaksaan yang sudah cukup besar berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 dan UU Nomor 11 Tahun 2021, termasuk kemampuan melakukan penyadapan dan intelijen. Menurut Prof. Nyoman, penambahan kewenangan lebih lanjut dapat mengacaukan sistem yang sudah terbangun dengan baik.
“Penegakan hukum di Indonesia mengandalkan sinergi antar-lembaga. Jika salah satu lembaga diberikan kewenangan yang terlalu luas, maka keseimbangan ini bisa terganggu,” tambahnya.
Sebagai akademisi, Prof. Nyoman mengingatkan bahwa perubahan dalam sistem hukum tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Ia juga mempertanyakan apakah RUU KUHAP ini akan menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1981 sepenuhnya atau hanya sekadar revisi.
“Jika tidak dipertimbangkan matang-matang, perubahan ini justru bisa merusak sistem yang selama ini telah berjalan dengan baik. Masukan dari akademisi, praktisi, dan pengamat hukum harus menjadi prioritas dalam pembahasan RUU ini,” tegasnya.
Sebagai penutup, Prof. Nyoman berharap RUU KUHAP dapat ditinjau ulang demi menjaga kepastian hukum dan keharmonisan kewenangan antar-lembaga penegak hukum di Indonesia.
“RUU ini harus dibahas dengan hati-hati agar tidak menciptakan ketidakpastian dan konflik di masa depan. Sistem peradilan pidana terpadu yang kita miliki adalah fondasi penting yang harus dijaga,” pungkasnya.
Penulis : S. Basuki
Editor: Stella