Malang,Sekilasmedia.com – Tokoh legenda Ken Arok dikenal sebagai sosok penuh lika-liku dalam perjalanan hidupnya, terutama di masa muda sebelum menjadi Raja Singasari. Kisahnya tak sekadar legenda, tetapi juga mencerminkan sisi pemberontakan, kecerdikan, dan keberanian yang membentuk takdirnya kelak.
Ken Arok dan Pesona Masa Muda
Di usia mudanya, Ken Arok tumbuh sebagai pemuda berani dan suka berpetualang. Tinggal bersama keluarga angkatnya di Karuman, ia kesulitan bergaul dengan anak ibu tirinya. Merasa tidak cocok dengan lingkungannya, Ken Arok memilih mencari pergaulan di tempat lain.
Di Desa Sagenggeng, ia bertemu Tita, putri kepala desa, dan di antara keduanya tumbuh benih cinta. Keinginan mereka untuk belajar membawa mereka ke rumah Janggan, seorang guru di desa tersebut. Namun, di situlah kenakalan Ken Arok kembali terlihat.
Dalam keisengannya, Ken Arok mencuri jambu milik Janggan pada malam hari sebelum waktunya matang. Ia tertangkap basah dan diusir, hingga terpaksa tidur di alang-alang. Namun, keesokan paginya, sesuatu yang mengejutkan terjadi—tubuh Ken Arok memancarkan cahaya terang.
Janggan, yang awalnya marah, justru melihat pertanda besar dalam diri pemuda itu. Ia percaya bahwa Ken Arok memiliki takdir besar dan kelak akan menjadi pemimpin. Sejak saat itu, Janggan menerima kembali Ken Arok dan membimbingnya.
Sejarawan Dr. Bambang Setiawan, pakar sejarah Nusantara, mengatakan bahwa peristiwa sinar yang memancar dari tubuh Ken Arok bisa jadi merupakan metafora tentang keistimewaan dan kekuatan dirinya yang kelak membawa perubahan besar.
“Legenda ini bukan hanya kisah kepahlawanan, tetapi juga simbol bagaimana seseorang dengan masa lalu yang keras bisa mengubah takdirnya,” ujar Dr. Bambang.
Bersama Tita, Ken Arok mendirikan dukuh di timur Sagenggeng, tetapi tempat itu bukan sekadar pemukiman biasa. Lokasi tersebut dijadikan tempat menghadang para pedagang yang lewat, memperlihatkan sisi pemberontak dan naluri petualangannya.
Kenakalannya semakin menjadi. Ia tidak hanya merampok, tetapi juga berani menggoda gadis penyadap di Dusun Kapundungan. Aksi-aksinya membuat gempar wilayah Tumapel hingga Akuwu Tumapel menganggapnya sebagai ancaman besar yang harus segera ditangkap.
Dikejar dari satu tempat ke tempat lain, di mana pun ia berada, gejolak selalu mengikuti. Ken Arok bukan sekadar perusuh, tetapi juga musuh negara yang membuat para penguasa resah.
Budayawan Ki Santoso Rahardjo menilai bahwa kenakalan Ken Arok adalah bentuk perlawanan sosial terhadap sistem yang ada pada masa itu.
“Ken Arok adalah simbol pemuda yang menolak tunduk pada tatanan lama. Meskipun caranya keras, inilah yang justru membawanya ke jalur kepemimpinan,” jelas Ki Santoso.
Namun, ada sesuatu yang membuat Ken Arok berbeda dari pemberontak biasa—ia dipercaya memiliki tuah. Hal ini dibuktikan oleh Bango Samparan, seorang tokoh di Karuman, yang berkat kehadiran Ken Arok mampu menebus kekalahannya dalam perjudian.
Sejarawan Prof. Slamet Muljana, dalam bukunya Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, menuliskan bahwa masyarakat Jawa hingga kini masih meyakini adanya orang bertuah dan orang yang membawa malapetaka. Konsep ini sering dikaitkan dengan pusaka keris, burung perkutut, hingga kelahiran seorang jabang bayi.
Kenakalannya di masa muda ternyata bukan tanpa alasan. Ia memiliki ambisi besar dan keberanian untuk melawan tatanan yang ada. Dari seorang buronan yang terus dikejar, Ken Arok akhirnya menapaki takdirnya—menjadi Raja Singasari, suami dari Ken Dedes, dan pendiri dinasti besar yang mengubah sejarah Nusantara.
Kisahnya bukan sekadar tentang kenakalan, tetapi juga tentang ambisi, takdir, dan keberanian mengubah nasib. Dari sinilah legenda seorang Ken Arok terus hidup, menjadi bagian dari warisan sejarah yang tak lekang oleh waktu.
Penulis : S Basuki
Editor : Kayla