Madiun,Sekilasmedia.com-Ratusan pendekar pencak silat Setia Hati Terate ( SH Ternate ), Minggu ( 22/ 12 ), berunjuk rasa menuntut kepolisian setempat tidak main main dalam menangani kasus pembunuhan, yang mengakibatkan tewasnya salah seorang pendekar SH Terate beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, para pendekar melakukan doa bersama di lapangan Padepokan Perguruan Silat SH Terate, Jl. Merak, Madiun Kota, dipimpin Wahyu, pendekar bidang agama.
Dalam doa bersama mereka mendoakan agar arwah korban, Heru Susilo, warga Desa Banjarejo, Kecamatan Taman, Madiun, diterima dan diampuni dosa dosanya oleh Sang Khaliq.
Lantunan doa juga ditujukan kepada para pengambil keputusan hukum, kepolisian, jaksa dan hakim, agar dapat bekerja sebagaiamana amanat undang undang.
Perkara ini berkategori sensitif dan menjadi ekstra serius mengingat pembunuhan oleh pelaku, Heri Cahyono, warga Desa Wayut, Kecamatan Jiwan, Madiun, diindikasikan sebagai pendekar dari perguruan silat yang berbeda, SH Winongo, yang sering terlibat perselisihan. Terlebih, perguruan silat ini memiliki filosofi sakitnya pendekar seperguruan adalah sakitnya juga. Sehingga hal ini dikhawatirkan memicu bentrok terbuka, yang setiap saat dapat meletus.
Sebab itulah, saat gelar perkara yang dipimpin Kapolres Madiun Kota, AKBP Nasrun Pasaribu, beberapa waktu lalu pihak kepolisian mengundang para petinggi setempat termasuk, walikota, bupati dan masing masing ketua perguruan silat, SH Terate dan SH Winongo.
Dalam kasus ini, para pendekar SH Terate menilai press release yang diumumkan pihak kepolisian Madiun Kota tersebut ngawur dan tidak faktual. Motif pembunuhan yang menurut polisi adalah faktor dendam pribadi antara pelaku dan korban, dibantah oleh pendekar silat SH Terate.
Menurut Bang Jenggo, pendekar SH Terate yang ikut demo, pembunuhan oleh pelaku, Heri Cahyono, warga Desa Wayut, Kecamatan Jiwan, Madiun, yang diindikasikan sebagai pendekar dari perguruan silat yang berbeda, SH Winongo, itu bukan dendam pribadi. Jika dendam, jelas Nanang Jenggo, secara sosial antara korban dan pelaku tersebut sudah saling mengenal. Kecuali itu, lanjutnya, sebelumnya pasti didahului dengan sebuah persoalan atau persoalan sehingga menimbulkan rasa dendam.
Sementara, tambah Nanang, saat pelaku mendatangi rumah korban untuk membunuh dengan sangkur, ibu kandung korban, Karmi, mendengar dialog, “Ru Heru, kowe to sing jenenge Heru. Loh kowe sopo? Bus ibuk aku ditusuk wong”, jelas Karmi menirukan dialog.
Dalam dialog tersebut, kata Nanang, menunjukkan antara pelaku dan korban membuktikan tidak saling mengenal. “Kalau tidak saling mengenal kok bisa dendam? Yang bener aja polisi menangani perkara ini. Kalau enggak bisa bisa saya nanti ganti membalas membunuh pelakunya”, tegas Nanang Jenggo. (adinegoro)