Jombang, Sekilasmedia.com – Yang menjadi awal cerita adalah Eyang Buyut Lurah Terik Soemopawiro, kisah initerjadi pada sekitar tahun 1899 dua tahun setelah beliau menjabat sebagai lurah Karangpakis dan sekaligus diangkat menjadi bebau wakil Ndoro Aris/Asisiten Wedono/Camat yang membawahi Onderdistrik Kabuh wilayah bagian timur, sedangkan Onderdistrik Kabuh wilayah bagian barat dibawah kordinasi Bebau Eyang Buyut Lurah H. Ilyas Mangundiharjo yang juga sebagai besan beliau dan leluhur penulis dari garis keturunan putri. Sebelum kita ikuti kisah beliau lebih lanjut perlu penulis sampaikan beberapa hal yang perlu diketahui oleh para“kadang brayat trah baraya agung”
/keluarga besar dan segenap keturunan beliau sebagai berikut :
1.Identitas diri penulis;
(a) Penulis bernama Sulisyono Imam Jayaharja anak ke 4 (empat) dari Bapak Imam DJojohardjo bin Eyang Redi Pawiroharjo bin Eyang Buyut Terik Soemopawiro bin Eyang Canggah Soemoharjo. (b) Penulis lahir pada tanggal 23 Oktober 1955; Bapak Imam Joyoharjo lahir pada tanggal 9 Juli 1928; Eyang Redi Pawiroharjo lahir tahun 1903; Eyang Buyut Terik Soemopawiro diperkirakan lahir pada tahun 1873 sedangkan Eyanga Canggah Soemoharjo diperkirakan lahir pada tahun 1848. (c) Sumber primer sebagai bahan penulisan adalah cerita dari bapak Imam Joyoharjo sebagai cucu dan Eyang Putri Ny.Watini Pawiroarjo binti H. Ilyas Mangundiharjo sebagai menantu serta Eyang Putri Ny.Artimah/Hj. Fatimah Toha Yasin sebagai salah satu putri dari Eyang Buyut Terik Soemopawiro dan sebagian dari Bulik Rr.Hartini Rahaju salah satu puteri dari Eyang putri Soeparti’ah adik Eyang Kakung Redi Pawiroarjo lain ibu.
Adapun dari Eyang Kakung Pawiroarjo penulis tidak mendapatkan informasi apapun karena beliau sudah“murud ing kasedan jati”atau wafat tahun 1953 sebelum penulis lahir. Sedangkan sumber skunder di peroleh penulis dari referensi sejarah Mojokerto dan Jombang yang ada ke terkaitannya dengan kurun waktu dan situasi-kondisi pada masa itu, serta sumber-sumber lain yang dianggap relevan. Diharapkan pula dari Keluarga Besar Eyang buyut Terik Soemopawiro dapat menjadi sumber informasi untuk bahan penulisan ini. Selebihnya ada sebagian kecil pengalaman spiritual yang ikut memberikan warna penulisan, baik dari penulis sendiri maupun dari salah seorang keponakan penulis yang punya bakat supranatural.
2.Awal mula ide penulisan “Melacak Jejak Leluhur Kita Eyang Terik Soemopawiro”
: (a). Pada hari Minggu Pahing tanggal 16 Januari 2022 bertepatan dengan tanggal 12 Jumadil Akhir 1955 A.J tahun Alip, penulis menerima kunjungan/anjangsana dari putra-putri almarhum Ibu Rr. Sulastri Rahayu yang diprakarsai oleh Adimas Ruddy Yoso Adi Nugroho. Ibu Rr. Sulastri adalah putri kedua dari Eyang Putri R.A. Soeparti’ah istri Eyang kakung R.Ng.Abdullah Admodiardjo. Adapun Eyang Putri R.A. Soeparti’ah adalah putri Eyang Buyut Terik Soemopawiro yang lahir dari Eyang Buyut Putri Masmirah istri kedua beliau. (b). Dalam pertemuan tersebut terbersit keinginan untuk membuat sebuah tulisan tentang siapa dan bagaimanatentang sosok Eyang Buyut Terik Soemopawiro berdasarkan cerita yang pernah kita dengar dari para orang tua dan kakek –nenek kita masing-masing. (c)
Kebetulan penulis banyak mendapatkan informasi langsung dari Eyang Putri Ny.Watini Prawiroarjo (sebagai menantu beliau), Eyang Putri Artimah/Hj. Fatimah Toha Yasin (sebagaiputri beliau) dan Bapak Imam Djojohardjo (sebagai cucu beliau). Perlu diketahui bahwa Eyang Putri Watini binti H. Ilyas Mangundiarjo adalah istri dari Eyang Redi Pawiroarjo kakak Eyang Putri Artimah/Hj. Fatimah dari istri pertama Eyang Buyut Terik Soemopawiro yang bernama Eyang Buyut Putri Artiyah.(d). Diharapkan kepada seluruh trah Eyang Buyut Terik Soemopawiro yang pernah mendapatkan informasi tentang beliau dari para orang tua masingmasing, mohon untuk menyampaikan kepada kami (Sulisyono Imam Jayaharja dan Adimas Ruddy Yoso Adi Nugroho) guna melengkapi penulisan buku ini.
(e). Para“kadang brayat trah baraya agung”dimohon juga untuk bisa menambahkan kisah-kisah menarik yang pernah dialami oleh anak keturunan Eyang Buyut Terik Soemopawiro, misalnya : “Kisah hidup Eyang Pawiroarjo”;“Kisah Perang Gerilya Imam Djojohardjo Melawan Belanda dalam Kesatuan Batalyon Mayangkara”; “Kisah Perjalanan Hidup Eyang R.A. Soeparti’ah dan R.M.Ng. Abdullah Admodiardjo”; “Pasang surut Hubungan Politik Sulisyono Imam Jayaharja dengan para Penguasa Jombang sejak awal Reformasi sampai sekarang”; “Perjalanan Karier Ruddy Yoso Adi Nugroho dalam mewarnai Pendidikan di Kabupaten Jombang”dan sebagainya. (d) Dengan adanya penulisan kisah-kisah anak keturunan Eyang Buyut Terik Soemopawiro,diharapkan sejarah tentang beliau bisa tersambung secara berkelanjutan dan bisa menjadi dokumentasi bagi generasi berikutnya, dengan demikian generasik Kita mendatang tidak pernah“kepaten obor” terhadap riwayat hidup dan kisahkisah yang menarik dari para leluhurnya.
3.Sistem pemerintahan pada jaman Belanda di wilayah Jombang :
Bapak Imam Djojoharjo pernah menceritakan kepada penulis bahwa pada saat terjadi pemisahan Afdeeling Mojokerto menjadi dua yakni Afdeeling Mojokerto dan Afdeeling Jombang dibawah Karesidenan Surabaya, yang menjabat sebagai Lurah Karangpakis adalah eyang buyut beliau atau ayah dari Eyang Buyut Terik Soemopawiro yang bernama Soemoharjo. Berdasarkan apa yang pernah diceritakan almarhum bapak tersebut penulis mencoba membuka catatan sejarah Jombang, bahwasanya wilayah Afdeeling Jombang terdiri dari tiga Distrik, yaitu : (1) Distrik Mojoagung; (2) Distrik Nojorejo; (3) Distrik Mojodadi(sekarang Kecamatan Kemlagi Mojokerto bersebelahan dengan Kecamatan Ngusikan di timur perbatasan Kecamatan Kabuh), jadi waktu itu Onderdistrik Kabuh masuk wilayah Distrik Mojodadi. Pemisahan Afdeeling tersebut berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda Frederik s’Yacob tanggal 20 Maret 1881. Secara administratif Afdeeling Jombang sebelum tahun 1881 merupakan bagian dari Afdeeling Mojokerto Karesidenan Surabaya. Yang menjabat sebagai Asisten Residen Mojokerto ialah J.A. Anrent, yang menjabat Bupati Raden Adipati Kromojoyo Adinegoro, sedangkan
yang menjabat Patih(sekarang Sekda) ialah Mas Ngabehi Onggo Adi Koesoemo. Afdeeling/wilayah pembantu Karesidenan Mojokerto membawahi : (1) Distrik Mojokerto; (2) Distrik Mojokasri; (3) Distrik Mojosari Lor; (4) Distrik Mojosari Kidul; (5); Distrik Jabung.
Pada saat Jombang menjadi Afdeeling belum dipimpin oleh seorang Bupati dan baru ada Bupati yang pertama pada tahun 1910 yang dijabat oleh R.A.A.Soeroadiningrat, oleh sebab itu pada tanggal 30 April 1881 Pemerintah Kolonial Belanda mengangkat R. Panji Tjondro Winoto sebagai Patih untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di Afdeling Jombang. Jadi Eyang Canggah Soemoharjo menjabat sebagai Lurah Karangpakis ketika Jombang dipimpin oleh Patih R. Panji Tjondro Winoto, sedangkan Eyang Buyut Terik Soemopawiro menggantikan orang tuanya sebagai Lurah Karangpakis sekaligus Bebau Onderdistrik Kabuh wilayah timur mengalami dua masa pemerintahan di Jombang, ialah masa pemerintahan Patih R. Panji Tjondro Winoto dan masa pemerintahan Bupati pertama R.A.A.Soeroadiningrat.
Jelasnya bahwa Eyang Buyut Terik Soemopawiro diperkirakan mulai menjabat Bebau/Lurah Karangpakis pada tahun 1897 pada saat Jombang masih berstatus Sebagai wilayah Afdeling di bawah pemerintahan Patih R. Panji Tjondro Winoto hingga tahun 1910 pada saat Jombang sudah berstatus sebagai Kabupaten dibawah Bupati pertama R.A.A. Soeroadiningrat. Adapun sampai tahun berapa Eyang Buyut Terik Soemopawiro terakhir menjabat sebagai Bebau/Lurah Karangpakis belum diketahui secara pasti, tapi diperkirakan sebelum tahun 1940-an. Kejelasannya masih menunggu keterangan dari Bulik Hartini yang akan penulis cocokkan dengan keterangan yang pernah disampaikan oleh Bapak Imam Djojohardjo : bahwa ketika beliau tamat
dari dari Sekolah Ongko Loro atau Tweede Inlandsche School 2 tahun di Kabuh lalu melanjutkan ke Schakel School 5 tahun di Ploso tamat pada tahun 1935, Eyang Buyut Terik Soemopawiro masih menjabat sebagai Bebau/Kepala Desa Karangpakis.
Tulisan ini akan memuat berbagai hal tentang Eyang Buyut Terik Soemopawiro baik mengenai riwayat hidup dan silsilahnya, kondisi sosial-ekonomi-politik dan pemerintahan pada masa itu, pandangan hidup beliau yang meliputi falsafah hidup dan hubungannya dengan realitas kehidupan di alam semesta, keyakinan dan kepercayaannya terhadap Tuhan Yang maha Esa, laku spiritual yang dijalaninya, budi pekerti dan etika moral yang diajarkannya, bentuk hubungan sosialnya baik terhadap pejabat/penguasa maupun terhadap rakyat biasa dan hal-hal lain yang bisa dipetik sebagai pelajaran bagi generasi berikutnya. Terima kasih penulis sampaikan kepada segenap keluarga besar Eyang Putri R.A.Soeparti’ah dan Eyang Kakung R. M. Ng. Abdullah Admodiarjo, khususnya Bulik Rr.Hartini Rahaju yang telah memberikan informasi berharga, Bulik Mas Roro Titiek Sumarti Rahaju
dan para adinda tercinta yang telah hadir ke rumah kami dan
menggagas ide penulisan naskah “Melacak Jejak Leluhur Kita Eyang Terik
Soemopawiro” terutama kepada :
1.Dimas Ruddy Yoso Adi Nugroho, M.Pd beserta keluarga
(Garwo-Putro).
2.Diajeng Tri Wahyuni Utami Handayaningtyas Wilupi.
3.Diajeng Rr. Ngesti Amini Yektining Panglipur.
4.Diajeng Rr. Suyadmini Paulina Agustine.
5.Diajeng Endang Setyaningtyas.
6.Dimas Nowo Satrio Paripurno.
7.Dimas Tjatur Prasetyo.
8.Dimas Hardianto Djuhar S.
9.Dimas Fairdian Djuhar S.
Tidak lupa kami ucapkan rasa terima pula kasih kepada Adimas Nowo Satrio Paripurno dan Adimas Ogies Sadminto yang selalu intens berkomunikasi dengan penulis, Rayimas Prafisane Dian Amelia di Italia yang konon kabarnya juga punya minat besar untuk menelusuri jejak para leluhurnya.
Kami juga megucapkan terima kasih dan mengharapkan sumbang saran serta
pemikiran dari“kadang brayat trah baraya agung”Eyang Putri R.A. Soeparti’ah dan Eyang Kakung R. M. Ng. Abdullah Admodiarjo dalam bentuk bahan-bahan informasi maupun cerita dari para pinisepuh guna melengkapi
penulisan naskah “Melacak Jejak
Leluhur Kita Eyang Terik Soemopawiro”.
Harapan sumbang saran pemikiran, penulis sampaikan
kepada :
1.Keluarga Besar Ibu R.A. Siti Romelah Endang Sudarsi
h dan Bapak R.P. Imam
Suwarno Hadi Sumarto.
2.Keluarga Besar Ibu Rr. Soelastri Rahajoe dan Bapak S. Djoewari Handoko
3.Keluarga Besar Ibu Rr. Inik Rahayu Suprapti dan Bap
ak Soesanto.
4.Keluarga Besar Ibu Rr. Liliek Suliasih Rahayu dan B
apak B.S. Hartono.
5.Keluarga Besar Ibu Rr. Hartini Rahayu dan Bapak Murjen.
6.Keluarga Besar Ibu Rr. Kusmiyati Rahayu dan Bapak F.X.Suprapto.
7.Keluarga Besar Ibu Mas Roro Titiek Sumarti Rahayu dan Bapak Endjo Djohan. Kepada Bapak Soenardi kami mohon dengan hormat lagi sangat sudilah kiranya untuk memberikan tambahan informasi kepada kami guna melengkapi dan mensinkronkan
dengan keterangan maupun informasi yang kami dapatkan selama ini agar lebih akuratnya isi dan paparan dalam tulisan ini.
Kepada Keluarga Besar Eyang Putri Soepiati di Krembangan Jaya Surabaya sebagai Ibunda dari Pak Lik Mukhamad, Bulik Markamah, Paklik Ismail, Paklik Suratman, Paklik Supi’i (yang pernah berkunjung ke rumah orang tua penulis pada tahun 1974), dan paklik Sujono serta segenap putra puterinya diharap
kan dapat memberikan sumbang saran dan informasi tentang leluhur kita bersama
Catatan khusus :
Kepada Yth.Ibu Rr. Hartini Rahaju; Ibu Mas Roro Titiek Sumarti Rahayu; Adimas
Ruddy Yoso Adi Nugroho; Adimas Nowo Satrio Paripurno, Adimas Ogies Sadminto dan adikadik serta Keponakan lainnya maupun Keluarga Besar
Eyang Buyut Terik Soemopawiro:
1.Mohon berkenan untuk mengoreksi Prawacana ini barangkali ada salah kata dan kalimat dalam penulisan ataupun kekurang tepatan dalam menyusun narasi dan pemilihan diksi, mohon juga pendapat tentang opsi judul yang lebih tepat daripada judul sementara yang kita pilih sebagaimana tersebut di atas.
2.Mohon untuk dikirimkan melalui Whatsapp kepada adik-adik yang lain agar dapat ikut serta mencermati dan mengoreksi Prawacana ini serta dapat
memberikan tambahan informasi untuk bahan penulisan isi.
3.Buat adik-adik semua mohon bersabar untuk menunggu hasil akhir penulisan ini karena masih banyak bahan-bahan penulisan yang perlu kita kumpulkan
Bab I.
RIWAYAT SINGKAT DAN SILSILAH KELUARGA
1. Riwayat singkat.
Untuk menelisik tentang riwayat Eyang Buyut Terik Soemopawiro bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah karena tidak ada satupun catatan tertulis mengenai riwayat hidup beliau kecuali hanya serpihan informasi dan penggalan cerita yang tidak tersusun secara terstruktur dan sistematis. Dalam merekontruksi kembali tentang sosok atau figur dan peristiwa masa lalu, baik yang terkait dengan tempat dan
kronologinya perlu sebuah ketelitian dan kejelian yang sangat prima agar serpihan tersebut dapat dirangkai kembali sebagaimana puzzel-puszzel yang bisa tertata dan tersusun secara rapi sehingga membentuk gambaran yang bisa terbaca secara jelas.
Tentang siapa dan bagaimana figur leluhur kita ini,serpihan informasi dan penggalan penggalan ceritanya kebanyakan penulis dapatkan dari Eyang Putri Watini, Bapak Imam Djodjohardjo serta Ibu Marliyah di sela-sela dongeng menjelang tidur ketika penulis masih anak-anak, maupun di waktu senggang untuk berbincang dan bertanya kepada para beliau tentang asal-usul leluhur keluarga pada saat penulis sudah dewasa.
Sejak anak-anak sampai berumah tangga, penulis sebagai salah satu dari enam saudara merupakan anak yang paling akrab dan intens berkomunikasi dengan syahanda, di samping punya kesamaan gemar membaca terutama tentang sejarah dan budaya Jawa, dikarenakan juga selalu bertempat tinggal berdekatan tidak pernah jauh
meninggalkan kampung halaman, oleh sebab itu penulis punya banyak waktu dan kesempatan untuk mendapat informasi tentang berbagai cerita dan pengalaman beliau dan para leluhur di masa lalu.
Beberapa potongan cerita juga pernah penulis dapatkan dari Eyang Putri Artimah/Hj.Fatimah ketika penulis sowan ke rumahnya di dusun Pumpungan baik pada hari-hari biasa maupun di saat sowan untuk sungkem lebaran. Ketika beliau berdua bertandang ke rumah orang tua penulis yang ada di Brumbung, kesempatan itupun juga penulis gunakan untuk bertanya tentang sosok Eyang Buyut T
erik Soemopawiro tersebut seperti apa.
Namun informasi yang penulis dapatkan tidak lebih dari penggalan-penggalan cerita yang pernah penulis dapatkan sebelumnya. Ketika penulis bertanya tentang sejarah leluhur, Eyang Putri Hj. Fatimah dan Eyang Kakung H. Toha justru lebih banyak menyampaikan nasehat tentang pentingnya orang harus
bekerja keras dan beribadah secara kaffah sehingga berhasil menjadi orang yang berkecukupan dan dapat
menunaikan ibadah haji ke tanah suci seperti yang beliau alami dan beliau jalani. Entalah kenapa Eyang Putri Hj. Fatimah dan Eyang Kakung H. Toha terkesan agak pelit untuk menceritakan tentang kisah ayahandanya, barangkali orientasi berfikir beliau lebih penting melihat dan membangun masa kini maupun masa mendatang daripada menengok masa lampau yang sudah lewat ditelan oleh jaman, maaf ini mungkin hanya sekedar dugaan penulis saja, karena penulis merasa tidak pernah mendapatkan cerita yang lengkap tentang leluhurnya.
Setiap beliau berkunjung ke Brumbung memang lebih banyak berbicara tentang usaha dagang, teknik pertukangan dan keagamaan terutama tentang syiar Islam.
Namun demikian Eyang Putri Hj.Fatimah dan Eyang Kakung H. Toha merupakan sosok yang berjasa dalam syiar agama, karena atas ide beliau langgar peninggalan Eyang Buyut H. Ilyas Mangundiardjo dirombak dan dikembang kan menjadi sebuah masjid
yang dinamai Baiturrahman, masjid ini merupakan masjid ke tiga yang dibangun di wilayah kecamatan Kabuh sebelum masjid-masjid lainnya mulai dibangun dan bermunculan pada masa-masa berikutnya. Beliau bersama orang tua penulis dan beberapa sesepuh lainnya juga mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Raden Rahmat yang masih ada sampai sekarang.
Pada saat beliau berdua (Eyang Putri Hj. Fatimah dan Eyang Kakung H. Toha) masih sugeng, setiap hari Jum’at selalu berkunjung ke rumah orang tua penulis yang ada di Brumbung, Eyang kakung H. Toha selalu menjadi imam sholat Jum’at di masjid Baiturrahman dengan khotbah-khotbahnya yang terkesan sangat menarik dan menyejukkan, beliau juga yang mengajari takmir masj
id untuk bisa berkhotbah, menjadi imam sholat Jum’at, cara-cara memakmurkan masjid serta membimbing umat
untuk mempraktekkan kehidupan beragama secara toleran.
Beliau berdua ini menganggap orang tua penulis sebagai putranya sendiri karena
beliau tidak dikaruniai anak sementara ayah dari orang tua penulis (Bapak Imam Djojohardjo) yang bernama Eyang Kakung Redi Pawiroarjo atau kakak dari Eyang Putri Hj. Fatimah sudah wafat pada tahun 1953. Maka tidak heran kalau Bulik Rr.Hartini Rahaju mengatakan bahwa Bapak Imam Djojohardjo dan Pak Lik Soetomo adalah
putra dari Eyang Putri Hj. Fatimah.
Serpihan cerita yang agak lengkap tentang Eyang Buyut Terik Soemopawiro
kebanyakan penulis dapatkan dari Eyang Putri Watini sebagai menantu dan bapak Imam Djodjohardjo sebagai cucu beliau, meskipun tidak disertai dengan penanggalan kalender yang menunjuk pada hari, tanggal, bulan dan tahun peristiwa secara jelas, namun beberapa peristiwa dalam cerita itu sering di hubungkannya dengan kejadiankejadian tertentu yang diingat oleh banyak orang, sehingga penulis dapat melakukan pelacakan berdasarkan data-data sejarah dan referensi yang ada.
Menurut cerita dari bapak Imam Djojohardjo yang pernah penulis dengar, bahwa kelahiran Eyang Buyut Terik Soemopawiro bersamaan dengan meletusnya PerangAceh. Jika keterangan ini benar maka kelahiran beliau antara bulan Maret – April 1873, adapun tentang kapan tanggal kelahirannya tidak bisa diketahui secara pasti. Lebih
lanjut diceritakan pula bahwa konon Eyang Buyut Terik Soemopawiro adalah putra dari Bebau Lurah Pumpungan–Karangpakis–Kabuh yang bernama Eyang Canggah Soemoharjo, tetapi menurut Bulik Hartini yang disampaikan kepada penulis melalui telpon pada tanggal 25 Januari 2022, bahwa Bebau Lurah Pumpungan–Karangpakis–Kabuh adalah ayah dari Eyang Buyut Putri Masmirah istri kedua dari Eyang Buyut Terik Soemopawiro yang melahirkan : Eyang Putri Soeparti’ah; Eyang Putri Soepiati dan yang kakung Soepinto.
Jika mengacu pada penjelasan Bulik Rr. Hartini Rahayu sebagaimana tersebut di atas, berarti Eyang Buyut Terik Soemopawiro adalah menantu dari Eyang Canggah soemoharjo. Kedua informasi ini memang sangat identik bahwasanya orang tua atau apakah mertua dari Eyang Buyut Terik Soemopawiro adalah seorang Bebau Lurah Karangpakis yang kemudian digantikan jabatannya oleh beliau.
Memang pada masa pemerintahan kolonial Belanda merupakan suatu hal yang sangat umum bahwa suatu jabatan mulai dari Bupati sampai pada jabatan Bebau dan Lurah digantikan berdasarkan keturunan atau keluarga, dan jika ada pemilihan sifatnya hanya pemilihan terbatas dalam lingkup kekerabatan. Penggalan-penggalan cerita
yang pernah disampaikan oleh Bulik Rr. Hartini Rahaju termasuk siapa sebenarnya sosok Mbah Sumendi dan Buyut Putihkan penulis telusuri pada bab berikutnya sambil menunggu pertemuan tanggal 12 Maret 2022 di Wisata Kebun Teh Lawang, Malang.
Dalam perkawinan yang pertama Eyang Buyut Terik Soe mopawiro dengan Eyang
Buyut Putri Artiyah melahirkan dua orang putra dan putri yang diberi nama : 1. Redidan 2. Artimah, Redi adalah nama kecil Eyang Kakung penulis atau ayah dari bapak Imam Djojohardjo, beliau lahir pada tahun 1903 selang satu tahun setelah dibukanya jalur Kereta Api jurusan Jombang – Babat. Eyang Redi setelah menikah dengan Eyang Putri Watini binti H. Ilyas Mangundiharjo lalu menggunakan nama dewasa RediPawiroarjo. Ada makna khusus dan terkandung maksud dari Eyang Buyut Terik Soemopawiro memberikan
tetenger putra pertamanya dengan nama “Redi”, redi berarti gunung
karena lahirnya pada saat Eyang Buyut Terik Soemopawiro bersama Eyang Buyut Putri Artiyah sedang menjalani lelaku tapa brata atau tirakat (khalwat) di gunung Pucangan desa Cupak, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang.
Memang Eyang Buyut Terik Soemopawiro adalah seorang penghayat kebatinan atau seorang Sufi Jawa yang suka laku tirakat dan tapa brata atau bersemedi untuk mengasah ketajaman spiritualnya. Sebagai pelaku spiritual beliau juga sering laku lelana/bepergian untuk uzlah atau mengasingkan diri
di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci. Beliau banyak mempelajari berbagai jenis ilmu Jawa ajaran dari para leluhurnya baik dalam bentuk “ulah raga/kanuragan, ulah rasa, ulah jiwa dan bahkan ulah suksma”, beliaupun juga sangat faham tentang Tanazul Taraqi dalam ajaran martabat tujuh, ialah proses perjalanan spiritual seorang hamba (makhluk) dalam upaya mendaki untuk mendekatkan diri pada Tuhan-nya (Khalik-nya). Gunung Pucangan sebagai salah satu tempat beliau bertapa/kontemplasi diri ialah
sebuah situs di mana pernah dijadikan tempat mengasingkan diri Airlangga dan
Narotama ketika terjadinya peristiwa Mahapralaya Medang pada jaman Raja Teguh Dharmawangsa, tempat ini sekaligus juga digunakan sebagai pusat kordinasi untuk merebut kembali Medang dari kekuasaan raja Wora Wari, gunung ini pernah pula dijadikan sebagai pertapaan Dewi Kilisuci putri raja Airlangga. Tertulis dalam prasasti pucangan bahwa tanggal 10 paro terang bulan Kartika 963 Saka , raja Airlangga
memerintahkan daerah Pucangan, Brahem dan Bapuri di jadikan tanah sima untuk kepentingan pertapaan yang telah didirikannya.
Tentang seperti apa dan bagaimana laku spititual yang beliau jalani dan mengapa
Eyang Buyut Terik Soemopawiro bersama Eyang Buyut Putri Artiyah melakukan laku tirakat di gunung Pucangan sampai Eyang Buyut Putri Artiyah melahirkan putra pertamanya di sana, akan dibahas pada bab berikutnya. Demikian pula sisi lain beliau dalam hubungannya dengan tatala pemerintahan, tata sosial masyarakat, ketokohan dan ajaran para leluhur tentang kehidupan, akan penulis uraikan dalam bagian tersendiri yang tidak terpisahkan dalam rangkaian tulisan ini.
Sebagaimana tersebut di atas bahwa putera pertama Eyang Buyut Terik Soemopawiro dengan Eyang Buyut putri Artiyah adalah Eyang Kakung Redi Pawiroarjo. Adapun Eyang Kakung Redi Pawiroarjo ini mempunyai 2 orang istri : 1. Eyang Putri Watini binti H. Ilyas Mangundiardjo dari Brumbung—Mangunan dan berputra Imam Djojohardjo;
2. Eyang Putri Sunar dari Tales—Kabuh mempunyai putra yang bernama Soetomo.
Putri beliau yang kedua dengan Eyang Buyut Putri Artiyah adalah Eyang Putri Artimah, ketika remaja menjadi juragan beras terkenal, namun profesi ini beliau tinggalkan setelah dinikahi oleh Moh. Toha dan berhasil naik haji bersama sang suami pada tahun 2963 lalu berganti nama Hj. Fatimah. Eyang Putri Artimah/Hj. Fatimah adalah perempuan kedua yang menunaikan ibadah haji di wilayah kecamatan Kabuh setelah
Eyang Buyut Putri Hj. Fatimah Ilyas ibu dari Eyang Putri Watini. Eyang Putri Hj. Fatimah dengan Eyang Kakung H. Toha tidak dikarunia anak sama sekali.
Belum penulis dapatkan keterangan yang jelas tentang kelanjutan perkawinan antara Eyang Buyut Kakung Terik Soemopawiro dengan Eyang Buyut Putri Artiyah, apakah cerai hidup atau cerai karena Eyang Buyut Putri Artiyah wafat, hal ini dikarenakan belum pernah ada penjelasan dari Eyang Putri Watini binti H. Ilyas sebagai menantu maupun penjelasan dari Bapak Imam Djojohardjo sebagai cucu beliau, penulis juga tidak sempat menanyakan hal tersebut sampai beliau berdua wafat. Penulis pernah
mendapatkan keterangan dari Bapak Imam Djojoharjo dan Ibu Marliyah (sebagai orang tua penulis) bahwa pada sekitar tahun enam puluhan lebih beliau berdua sering berkunjung ke rumah famili di Kaliwungu Jombang yang beliau sebut sebagai “Bulik Parti” dan “Paman Dullah”. Bahkan Bapak Imam Djojoharjo dan Eyang Kakung H. Toha pernah membeli jam tangan Orient yang sangat bagus berwarna keemasan juga jam bandul merk Westminster buatan Jerman dari familinya yang ada di Kaliwungu yang beliau sebut paman Dullah, yang tidak lain adalah Eyang Kakung R. M. Ng. Abdullah Admodiardjo
suami dari Eyang Putri R.A. Soeparti’ah.
Bapak Imam Djojoharjo—Ibu Marliyah pada sekitar tahun enam puluhan lebih, juga kadang dikunjungi famili yang kata beliau dari keluarga Kaliwungu Jombang, kerawuhan keluarga Kaliwungu ini biasanya diantar oleh Eyang kakung H. Toha dan Eyang Putri Hj. Fatimah, famili dari Kaliwungu tersebut dipanggil oleh bapak penulis
dengan sebutan “Dik Handoko” dan Dik Lastri”(Bp. S.D. Handoko dan Ib. Rr. Sulastri Rahaju).
Perihal saling berkunjung antar famili ini juga pernah disampaikan oleh Bapak
Handoko kepada penulis ketika waktu penulis takziah wafatnya Bulik Rr. Sulastri di rumah Geneng gang I Jombang, Bapak S.D. Handoko juga bercerita tentang keakraban beliau sekalian dengan kelurga yang ada di Kabuh khususnya dengan keluarga
Pumpungan – Karangpakis dan keluarga Brumbung – Mangunan.
Keakraban keluarga Bapak S.D. Handoko – Ibu Rr. Sulastri Rahaju dengan keluarga Bapak Imam Djojohardjo–Ibu Marliyah maupun Eyang H.Toha–Eyang Hj. Fatimah masih terjalin pada sekitar tahun enam puluhan lebih, kemudian lama tidak saling berkunjung karena kesibukan masing-masing. Dan baru pada saat sebelum wafatnya Ib. Rr. Sulastri Rahaju, beliau paring dhawuh kepada salah satu putranya ialah Adimas
Ruddy Yoso Adi Nogroho untuk mencari keberadaan penulis melalui Pak Agus Suryo Handoko di SMPN 2 Kabuh. Tentang bagaimana terjadinya awal sambungnya tali silaturahmi ini barangkali Adimas Ruddy Yoso Adi Nogroho dapat memberikan tambahan keterangan untuk melengkapi penulisan.
Kemungkinan besar bahwa Ibu Rr.Sulastri Rahaju“kagungan kersa lan sedya”atau mempunyai keinginan dan tujuan untuk“merangkai kembali benang silaturahmi”serta menyambung tali keluarga dan sekaligus mengumpulkan
“balung pisah” keberadaan keluarga besar trah Eyang Buyut Terik Soemopawiro yang hampir saja terlupakan.
Penulis sangat meyakini bahwa keinginan dan tujuan beliau tersebut merupakan sebuah wasiat yang harus kita tunaikan secara bersama.
Kembali pada Eyang Buyut Terik Soemopawiro, menurut cerita para sesepuh bahwasanya selain mempunyai istri Eyang Buyut Putri Artiyah yang melahirkan Eyang Redi Pawiroarjo dan Eyang Putri Hj. Fatimah, beliau juga mempunyai istri lagi ialah Eyang Buyut Putri Masmirah yang menurut keterangan Bulik Rr. Hartini Rahaju bahwa Eyang Buyut Putri Masmirah adalah puteri dari Eyang Vanggah Bau Pumpungan, namun dari keterangan Eyang Putri Watini dan Bapak Imam Djojohardjo bahwa ayah dari Eyang Buyut Terik Soemopawiro adalah Bau/Lurah Karangpakis. Oleh sebab itu
timbul pertanyaan apakah Canggah Bau Pumpungan/Lurah Karangpakis ini orang tua ataukah mertua dari Buyut Terik Soemopawiro ? hal ini masih masih memerlukan penelusuran lebih lanjut. Dari pernikahan Eyang Buyut Kakung Terik Soemopawiro dengan Eyang Buyut Putri Masmirah menurunkan 3 (tiga) orang putera-puteri ialah :
1. Eyang Putri Soeparti’ah;
2. Eyang Putri Soepiati; dan 3. Eyang Kakung Soepinto.
Masih menurut keterangan Bulik Rr.Hartini Rahaju bahwa Eyang Buyut Putri Masmirah sebelum menikah dengan Eyang Buyut Terik Soemopawiro pernah menikah dengan“Mbah Djojo Sentiko dan mempunyai anak Pakde Sumarto dan Bude Nglundo”
demikian yang disampaikan oleh Bulik Rr. Hartini Rahaju kepada penulis. Jika
seandainya dari fihak keluarga atau anak cucu“Pakde Sumarto dan Bude Nglundo”berkenan untuk memberikan tambahan informasi, kiranya akan semakin memperkaya kisah dan riwayat hidup Eyang Buyut Terik Soemopawiro sampai pada generasi di atasnya.
Berdasarkan dari berbagai keterangan baik dari Eyang Putri Hj. Fatimah, bapak Imam Djojohardjo, Bulik Rr. Hartini Rahaju dan dari adik-adik sepupu yang berkunjung kerumah penulis pada tanggal 16 Januari 2022 bahwa :
Eyang Putri Soeparti’ah bersuamikan Eyang Kakung R.M.Ng. Abdullah Admodiardjo,
beliau berputra-putri 9 (sembilan) orang, ialah :
1.Ibu R.A. Siti Romlah Endang Sudarsih bersuamikan Bp. R.P. Imam Soewarno
Hadi Soemarto, berputera 10 (sepuluh) orang : 1. Rr. Endah Hikayatin
Revolusian Retno S; 2. R. Dwi Purnomo Sutedjo; 3. Rr. Tri Wahyuni Sih Lumintu;
4. Rr. Tjaturini Tyas prihatin; 5. R. Panca Deddy Subagyo; 6. Rr. Syadmini Paulina
Agustina; 7. Rr. Saptorini Lestariningtyas; 8. Rr.Ngesti Amini Yektining
Panglipur; 9. R. Nowo Satrio Paripurno; 10. Dosoputro Agus Praptono Eddy.
2.Ibu. Rr. Sulastri Rahaju bersuamikan Bp. S.D. Handoko berputera 6 (enam) orang: 1. Bambang Wahyu Hadi Eko Sulistyo; 2. Bambang Wahyu Utomo Dwi Santoso;3. Tri Wahyu Utami Handayaningtyas Wilupi; 4. Willy Hari Wahyudi Tjatur Admodjo; 5. Ruddy Yoso adi Nugroho; 6. Ogies Sadminto.
3.Ibu Rr. Inik Rahaju Suprapti bersuamikan Bp. Soesanto berputera 6 (enam)orang : 1. Anton Prihantono; 2. Bahagia Lestari; 3.Catrin; 4. Dores; 5. Endras; 6.Fifin.
4.Ibu Rr. Liliek Suliasih Rahaju bersuamikan Bp. B.S.
Hartono berputera 5 (lima)
orang : 1. Endang Setyaningtyas; 2. Gaguk Prasetyo;
3. Tulus Prasetyo; 4. Tjatur
Prasetyo; 5. Pantja Prasetyo.
5.Ibu Rr. Supriatin : meninggal dan tidak mempunyai p
utera. 6.Ibu Rr. Hartini Rahaju bersuamikan Bp. Murdjen berputera 6 (enam) orang : 1.
Henityasasi Prehantini; 2. Agung Kridyastuti; 3. Endyah Kartini; 4. Hery
Iswahyudi; 5. Saptari Retnowati; 6. Hari Budi Santoso (alm.).
7.Ibu Rr. Kusmijati Rahaju bersuamikan Bp. FX Suprapto berputera 5 (lima) orang
: 1. Rini; 2. Ayok; 3. Aan; 4. Cicik; 5. Lukky. ( nama lengkapnya belum penulis
dapatkan informasinya ).
8.Bp. Suprawoto ( meninggal ).
9.Ibu Mas Roro Titiek Sumarti Rahaju bersuamikan Bp.Endjo Djohan berputera 3(tiga) orang : 1. Hardianto Djohar Saputra; 2. Fair dian Djohar Saputra; 3.Prafisane Dian Amelia. EyangPutri Soepiati bersuamikan eyang kakung Sidik memiliki putera puteri sebagai
berikut :
1.Bp. Mukhamad beristrikan ………………… berputera …… Orang :
……………..; ……………… ; ………………; dst.
2.Ibu Markamah bersuamikan ………………. berputera …… orang :
…………….; ………………; ………………; dst.
3.Bp. Ismail beristrikan ………………………… berputera …… orang :…………….; ……………… ; ……………..; dst.
4.Bp. Suratman beristrikan ……………………….. berputera …… orang :
……………..; ……………… ; ……………..; dst.
5.Bp. Supi’i beristrikan ………………
………… berputera …… orang :…………….; ……………… ; ……………..; dst.
6.Bp. Sujono beristrikan ……………………….. berputera …… orang :…………….; ……………… ; ……………..; dst. Data dan informasi tentang Eyang Putri Soepiati masih diketahui sebagian dan belum lengkap.
Eyang Kakung Soepinto : data belum diketahui secara lengkap.
1.Mohon maaf jika ada salah huruf maupun salah kata dalam penulisan nama.
2.Mohon perkenannya untuk memberikan koreksi dan mohon pula untuk memberikan tambahan informasi baik pada “Naskah Riwayat Singkat” maupun “Nama-nama yang belum lengkap serta nama-nama anak keturunan yang belum tercantum dalam Silsilah”
(Kay)