Batu, sekilasmedia.com – Kota Wisata Batu memiliki banyak kuliner khas yang tak lekang oleh waktu, salah satunya adalah Ladu. Jajanan tradisional berbahan dasar beras ketan dan gula ini bukan sekadar camilan, tetapi juga menyimpan legenda penuh makna tentang persaudaraan.
Konon, Ladu berawal dari kisah sebuah keluarga yang hidup damai, tetapi kemudian bertengkar karena perbedaan pendapat. Dalam kemarahannya, salah satu anggota keluarga memukul-mukul nasi ketan hingga hancur. Keesokan harinya, sang ibu mencoba membakarnya di atas kuali, dan hasilnya, nasi ketan tersebut justru mengembang dan mekar.
Melihat hal tersebut, sang ibu memanggil kedua anaknya dan berkata, “Ini ada makanan baru untuk kalian. Janganlah kalian bermusuhan. ‘L’ berarti Langgengo (selamanya), ‘A’ Anggonmu (gunakanlah), dan ‘DU’ Seduluran (persaudaraan).” Sejak saat itu, jajanan ini diberi nama Ladu, yang menjadi simbol perdamaian dan persaudaraan.
Meski termasuk jajanan kuno, Ladu masih eksis hingga kini. Biasanya, kue ini banyak dicari saat Hari Raya Idul Fitri atau hajatan pernikahan. Salah satu produsen Ladu di Kota Batu, Rudi Kuswoyo, telah memproduksi Ladu sejak tahun 2002. Ia memulai usahanya dengan modal Rp750 ribu dan kini sukses mempertahankan tradisi kuliner ini.
Menurut Rudi, pembuatan Ladu membutuhkan kesabaran ekstra. “Beras ketan harus direndam sehari semalam, dikeringkan, lalu digiling menjadi tepung. Setelah itu, tepung ditanak hingga matang, ditumbuk sampai kalis, dan dicampur dengan gula yang sudah dimasak. Kemudian, adonan dipipihkan, dipotong kecil, dijemur seharian, lalu dipanggang hingga siap disantap,” jelasnya. Selasa (25/3).
Uniknya, Rudi percaya bahwa membuat Ladu tidak bisa dilakukan dengan emosi. “Kalau sedang marah atau tidak sabar, pasti Ladu-nya gagal,” candanya.
Pada tahun 2007, Rudi mendirikan Kampung Ladu, sebuah sentra produksi Ladu yang menarik banyak peminat. Ia menjual Ladu dengan harga Rp100 ribu per kilogram, sedangkan kemasan 4,5 ons dijual seharga Rp40 ribu.
Setiap Ramadan, rumah Rudi selalu dipenuhi antrean pembeli yang rela menunggu Ladu matang dari oven. Namun, ia juga mengakui bahwa semakin sedikit orang yang mau membuat Ladu karena prosesnya yang cukup rumit.
Terlepas dari tantangan tersebut, Ladu tetap bertahan sebagai warisan kuliner yang manis dan renyah. Rasanya yang lembut dan meleleh di mulut membuatnya digemari berbagai kalangan, dari anak-anak hingga orang tua.
“Ladu bukan sekadar jajanan, tetapi juga simbol persaudaraan yang diwariskan turun-temurun. Sebuah camilan sederhana yang menyimpan filosofi mendalam tentang arti kebersamaan,” tukasnya.
Penulis : S Basuki
Editor: kaylla