Bromo, Sekilasmedia.com– hari ke-3 study tour sekolah dan hari ini kita ke Bromo! Aku dan teman-teman kamarku : Intan, Ajeng, dan Vivi—sudah mempersiapkan sejak hari sebelumnya, membayangkan bagaimana rasanya melihat matahari terbit di pegunungan. Tapi yang tidak kami bayangkan adalah betapa melelahkan perjalanannya, Dini Hari yang Sibuk di Hotel
Malam sebelumnya, kami menginap di Hotel Ibis Styles Malang. Kamar kami ada di lantai delapan. Sejak malam, panitia sudah mengingatkan kami untuk pakai pakaian tebal karena Bromo dinginnya luar biasa. Jadilah kami memakai baju berlapis-lapis, lengkap dengan jaket tebal, sarung tangan, dan kupluk. Persiapan yang matang, pikirku. Kami harus berangkat jam 1 pagi. Masalahnya, semua orang juga harus checkout pada waktu yang sama, dan akibatnya, antrean lift mengular panjang. Setelah beberapa menit menunggu tanpa hasil, kami memutuskan untuk turun lewat tangga darurat. Delapan lantai! Dengan koper dan tentengan yang berat! Itu adalah latihan fisik yang tidak pernah kuprediksi sebelumnya. Setiap anak tangga terasa seperti hukuman, tapi kami tertawa sepanjang perjalanan turun, meski tangan mulai pegal dan kaki mulai gemetar. Begitu sampai di bus, semua langsung terkulai lemas. Kami semua mengantuk parah, dan begitu bus melaju, aku dan teman-temanku langsung tertidur.
Perjalanan Panjang Menuju Bromo
Setelah beberapa jam perjalanan yang entah kenapa terasa sekejap (mungkin karena tertidur nyenyak), kami tiba di titik pemberhentian pertama. Di sini, kami harus berganti kendaraan. Bus besar kami tidak cukup kuat untuk menanjak, jadi kami dipindahkan ke minibus yang lebih kecil. Waktu menunjukkan pukul 4 pagi, dan sebelum melanjutkan perjalanan, kami berhenti dulu di Masjid Al Hidayah, yang terletak di lereng Bromo. Di sinilah aku pertama kali merasakan dinginnya Bromo. Saat membuka pintu mobil, hawa dingin langsung menusuk wajahku. Aku menarik napas dalam-dalam, dan napas itu berubah menjadi asap tipis. Sungguh pengalaman yang aneh bagiku, yang terbiasa dengan udara panas di kota.
Saat mengambil air wudhu, aku hampir berteriak karena airnya lebih dingin dari yang kubayangkan. Benar-benar seperti es! Aku bahkan merasa wajahku membeku saat membasuh muka. Sholat subuh di tempat ini memberikan sensasi berbeda—mengantuk, menggigil, tapi juga harus tetap khusyuk.
Perlombaan Melawan Matahari
Setelah sholat, kami segera naik minibus lagi untuk melanjutkan perjalanan ke atas. Namun, ada sedikit kendala. Sepertinya kami agak terlambat karena pukul 4.30, matahari mulai menampakkan diri, sementara kami masih dalam perjalanan. Dengan pasrah, aku mengeluarkan ponsel dan merekam sunrise dari dalam mini bus. Meskipun bukan pengalaman sunrise yang ideal, setidaknya aku bisa mengabadikan momen itu.
Begitu sampai di titik akhir minibus, kami masih harus berjalan kaki menuju bukit tempat melihat matahari terbit. Meski sudah pakai jaket tebal, dinginnya tetap menusuk tulang. Setiap kali berbicara, asap keluar dari mulutku. Perjalanan ini terasa lumayan jauh, tapi aku dan teman-temanku tetap bersemangat. Akhirnya, sekitar pukul 5 pagi, kami sampai di atas bukit. Matahari sudah mulai terang, tapi pemandangannya tetap luar biasa. Aku merasa seperti berada di atas awan, melihat kabut tipis yang mengambang di sekitar gunung. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berada di dataran tinggi yang begitu indah. Kami segera mengambil foto dan merekam video. Ini adalah momen yang ingin kami ingat selamanya. Aku merasa sangat kecil di tengah luasnya alam ini.
Perjalanan ke Lautan Pasir
Setelah puas menikmati pemandangan, sekitar pukul 6 pagi, kami bersiap menuju destinasi berikutnya—yang aku sendiri tidak tahu namanya saat itu. Apakah itu kawah? Pasir berbisik? Entahlah. Awalnya, kami harus berjalan kaki lagi. Kali ini, perjalanannya lebih melelahkan karena jalanannya agak berbatu dan berpasir. Tapi setelah beberapa saat, kami naik jeep untuk melanjutkan perjalanan. Naik jeep di medan seperti ini adalah pengalaman yang tak terlupakan. Jalannya tidak rata, penuh guncangan, dan mobil kecil ini membuat kami harus berdesakan. Aku dan teman-temanku tertawa setiap kali jeep melompat akibat jalanan yang bergelombang. Sekitar pukul 6.30, kami sampai di lautan pasir. Dan di sinilah kejadian yang tidak terduga terjadi.
Bakso Malang yang Dingin Sebelum Dimakan
Di tengah dinginnya udara pagi, aku dan teman-temanku memutuskan untuk membeli bakso Malang. Rasanya lucu, membeli bakso Malang langsung di Malang. Tapi yang lebih mengejutkan adalah saat bakso itu baru dituang ke dalam mangkuk… uap panasnya langsung hilang dalam hitungan detik! Udara dingin membuat bakso itu hampir dingin sebelum sempat kami makan. Aku tertawa sambil menyeruput kuahnya yang masih tersisa sedikit hangat. Harganya cukup murah, hanya Rp15.000 per porsi. Dan meskipun baksonya lebih cepat dingin daripada ekspektasiku, rasanya tetap enak.
Naik Kuda dan Kabut yang Menyebalkan
Setelah makan, aku mencoba naik kuda untuk pertama kalinya. Awalnya harga bolak-balik Rp100.000, tapi karena aku buru-buru, akhirnya hanya membayar Rp50.000 untuk perjalanan setengah jalan. Namun, yang paling menyebalkan adalah kabut yang sangat tebal. Bukit di tempat pasir itu biasanya indah untuk foto, tapi saat kami di sana, semuanya tertutup kabut. Kami hanya bisa melihat kabut putih di mana-mana. Dan yang lebih menjengkelkan, kabut itu baru hilang ketika kami sudah mau pulang! Akhirnya aku hanya sempat merekam bukitnya dari jeep.
Perjalanan Pulang yang Melelahkan
Setelah serangkaian pengalaman yang melelahkan dan menyenangkan, kami akhirnya kembali ke hotel. Perjalanan turun terasa lebih cepat, mungkin karena kami semua sudah terlalu lelah untuk mengeluh. Sesampainya di hotel, aku dan teman-temanku langsung terkapar di kasur.
Perjalanan ini melelahkan, tapi juga penuh cerita yang tidak akan kulupakan. Dari lift yang penuh sesak hingga sholat dengan air sedingin es, dari bakso Malang yang cepat dingin hingga naik jeep yang penuh guncangan—semuanya menjadi bagian dari pengalaman study tour yang tidak biasa. Bromo bukan hanya tentang keindahan matahari terbitnya, tetapi juga tentang perjalanan panjang, kantuk yang tak tertahankan, dan pengalaman-pengalaman kecil yang membuat segalanya terasa lebih berkesan.
penulis: Gaizka Meilita Salma, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB
Editor: kaylla