Semarang,Sekilasmedia.com-Langit sore di Pantai Marina perlahan berubah warna. Gradasi jingga dan ungu mulai menyelimuti cakrawala, memantulkan cahayanya di permukaan laut yang tenang. Angin sepoi-sepoi membawa aroma asin khas pantai, sesekali berhembus lebih kencang, membuat beberapa pengunjung merapatkan jaket mereka.
Aku dan saudaraku duduk di tepi pantai, membiarkan kaki bergelantungan di pembatas bebatuan di tepi pantainya. Mendengarkan suara ombak yang begitu riuh, sementara kapal-kapal nelayan tampak berlayar kembali ke dermaga. Kami tak banyak bicara, hanya menikmati suasana yang begitu tenang setelah perjalanan panjang menuju kota ini.
Semarang punya cara unik menyambut malam. Dari pantai yang menenangkan, kota ini perlahan berubah menjadi pusat cahaya dan kehidupan. Malam yang baru saja dimulai mengundang kami untuk melihat sisi lain Semarang—lebih hidup, lebih berwarna.
Saat gelap mulai menyelimuti kota, kami meninggalkan Pantai Marina dan meluncur ke pusat kota. Simpang Lima sudah ramai. Lampu-lampu besar menerangi area yang penuh dengan pengunjung. Sepeda hias dengan lampu warna-warni melintas, dikayuh oleh keluarga kecil yang tertawa riang.
Kami berjalan santai, membiarkan aroma makanan khas Semarang menyeruak di antara udara malam yang sejuk. Lalu lintas tak pernah benar-benar sepi di sini. Dari kejauhan, suara klakson bersahut-sahutan, bercampur dengan suara musik dari pedagang kaki lima yang menghibur pengunjung.
Setelah beberapa saat menikmati suasana, perjalanan kami berlanjut ke Lawang Sewu. Bangunan bersejarah ini tampak megah dalam cahaya kuning lampu-lampu yang menerangi fasadnya. Langit gelap semakin menambah kesan dramatis pada arsitekturnya yang khas.
Kami berjalan di halaman luasnya, mengamati detail jendela-jendela besar dan pintu-pintu kayu tinggi yang menjadi ciri khasnya. Tidak banyak suara di sini, hanya langkah kaki sesekali terdengar menggema. Ada sensasi berbeda yang terasa saat mengunjungi tempat ini di malam hari—seperti menyusuri lorong waktu yang membawa kembali ke masa lalu.
Setelah berkunjung ke Lawang Sewu, kami menyempatkan diri mengunjungi Masjid Agung Jawa Tengah. Masjid ini berdiri megah dengan menara tinggi yang menjulang, siluetnya tampak jelas di bawah cahaya lampu kota. Kami duduk di pelatarannya, membiarkan udara malam yang sejuk mengisi paru-paru.
Malam semakin larut, dan kami akhirnya memutuskan untuk kembali. Perjalanan hari ini cukup panjang, tetapi sebelum benar-benar menutup malam, ada satu hal lagi yang ingin kami nikmati—semangkuk wedang ronde hangat.
Di dekat rumah saudara, sebuah warung kecil terlihat masih buka. Kami berhenti sejenak, memesan masing-masing satu mangkuk. Saat ronde pertama masuk ke mulut, rasa jahe yang hangat langsung mengalir ke tenggorokan, memberikan sensasi nyaman setelah seharian berjalan-jalan. Bola-bola ketannya lembut, berpadu dengan kacang tanah dan kuah manis yang menghangatkan tubuh.
Sehari di Semarang terasa singkat, tapi cukup untuk menyimpan kenangan yang hangat. Dari pantai yang tenang hingga gemerlap malam di pusat kota, setiap tempat memberi pengalaman yang berbeda. Semarang bukan sekadar kota persinggahan; ia adalah perpaduan antara ketenangan dan kehidupan yang penuh warna.
Saat berjalan pulang setelah menyesap wedang ronde terakhir, aku menoleh sekali lagi ke arah lampu-lampu kota yang masih bersinar. Ombak sore tadi telah berganti dengan riuhnya cahaya malam. Sehari di sini mungkin tak cukup untuk menjelajahi semuanya, tapi cukup untuk jatuh cinta pada pesonanya.
Penulis: Lintang Asya Arita Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB
Editor: Kaylla