Kediri,Sekilasmedia.com— Munculnya narasi yang terkesan menyudutkan FKUB Kota Kediri sehingga muncul opini publik yang semakin membuat polemik ditengah tengah masyarakat atas izin pendirian rumah ibadah di wilayah Mojoroto, Kota Kediri,Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Kediri melalui Ketuanya Moh. Salim, sepakat bersama sama angkat bicara untuk meluruskan narasi yang muncul ditengah tengah masyarakat tersebut.
Dalam pernyataan resminya, ia menegaskan bahwa FKUB tidak pernah menghambat pendirian rumah ibadah, selama proses dilakukan dengan benar dan mendapat dukungan nyata dari masyarakat sekitar.
“FKUB tidak pernah menolak pendirian rumah ibadah. Kami hanya memastikan semua prosedur dijalankan dengan baik, dan masyarakat sekitar mendukung penuh. Kerukunan itu bukan hanya simbol, tapi harus dibangun dari bawah,” ujar Moh. Salim, Ketua FKUB Kota Kediri, saat ditemui usai rapat koordinasi, Selasa siang (30/7/2025).
Didampingi sejumlah pengurus FKUB lainnya, termasuk Philipus Suwarno Ketua Badan musyawarah antar gereja kota kediri, Mbah Tahkim, dan Ahmad Fathoni, Salim menjelaskan bahwa permohonan pendirian rumah ibadah oleh pihak GKJW Mojoroto sebenarnya telah diajukan sejak tahun 2024.
Namun setelah diverifikasi, berkas dukungan masyarakat dinilai belum lengkap dan belum ada bukti kuat bahwa sosialisasi kepada warga telah dilakukan secara menyeluruh. Salah satu poin krusial adalah ketika tanda tangan warga diminta, ternyata belum didahului dengan penjelasan yang memadai.
“Setelah kami teliti, surat-suratnya masih kurang, jadi kami minta perbaikan. Tapi menurut laporan warga, sosialisasi saat pengumpulan tanda tangan belum maksimal. Akhirnya, warga RT dan RW Mojoroto sepakat untuk memulai proses dari awal. Itu bukan keputusan FKUB, melainkan aspirasi murni dari warga,” ujar Moh. Salim.
*Bukan Penolakan, Tapi Proses Ulang Demi Ketenteraman*
Salim juga meluruskan bahwa sejak awal, warga mengira permohonan yang diajukan adalah untuk renovasi rumah ibadah lama, bukan untuk pembangunan rumah ibadah baru. Hal ini yang menyebabkan sebagian masyarakat merasa ‘dibelokkan’ dan akhirnya muncul penolakan dari sekitar 250 orang warga.
“Waktu itu pamitnya ke warga untuk memperbaiki bangunan lama yang rapuh, bukan membangun baru. Karena beda maksud dan tujuan, muncullah keberatan. Itulah mengapa warga minta prosesnya diulang dari nol,” tambahnya.
*Tenangkan Dulu Suasana di Bawah, Baru Bicara Soal Rekomendasi*
Sesuai prinsip kerja FKUB dan arahan dari Kementerian Agama, rekomendasi hanya bisa diberikan jika suasana di lapangan telah kondusif. Oleh karena itu, hingga persoalan sosial terselesaikan, baik FKUB maupun Kemenag memilih untuk tidak menerbitkan rekomendasi apa pun.
“Kami tidak ingin mengeluarkan rekomendasi dalam suasana yang masih panas. Prinsipnya, selama di bawah belum selesai, kami pun tidak akan melangkah ke atas. Itu bentuk tanggung jawab kami menjaga kedamaian bersama,” tegas Moh. Salim.
Ia juga mencontohkan kasus lain yang berjalan lancar, seperti pembangunan rumah ibadah Mawar Saron dan BKT di Kediri, yang berhasil mendapatkan rekomendasi karena dukungan penuh dari warga sekitar.
“Jadi kalau semua unsur masyarakat mendukung, rekomendasi pasti kami keluarkan. Tapi kalau masih ada konflik, kami pilih menunggu dan mendorong dialog,” ujarnya.
*Membangun Iman Tanpa Meruntuhkan Harmoni*
Di akhir pernyataannya, Moh. Salim mengajak semua pihak untuk menurunkan tensi dan membuka ruang komunikasi. Menurutnya, rumah ibadah seharusnya menjadi tempat lahirnya kedamaian, bukan permusuhan.
“Jangan sampai rumah ibadah dibangun dengan mengorbankan perasaan warga. Kami semua ingin ibadah bisa jalan, tapi juga lingkungan tetap rukun. Kita bisa ibadah dengan tenang, jika tetangga kita juga merasa damai,” pungkasnya.
Sementara itu, pihak gereja melalui Pendeta Puput Yuniatmoko, saat dikonfirmasi jurnalis melalui pesan WhatsApp, menyampaikan bahwa saat ini mereka masih dalam tahap merencanakan dan menghimpun ulang seluruh proses yang diperlukan.
“Kami masih mencoba merencanakan dan menghimpun ulang prosesnya,” tulis Pendeta Puput Yuniatmoko kepada jurnalis