Gresik, Sekilasmedia.com – Forum Kota (Forkot) demo Pengadilan Negeri Gresik dan kantor BPN, karena terdapat perbedaan penafsiran regulasi dua institusi itu sehingga menyulitkan masyarakat memperoleh hak-haknya, Rabu (6/11/2024).
Seperti aksi pertama, hari ini aksi kedua Forkot tetap mengusung isu yang sama.
Menurut Korlap aksi Forum Kota (Forkot) Haris S Fakih, dari kegagalan menafsirkan regulasi tersebut menjadi hambatan tersendiri, dan Forkot menduga ada beberapa oknum yang mencoba menghalangi terkait pencairan anggaran konsinyasi tersebut.
Alhasil, sambungnya, tuntutan Forkot hari ini, yaitu copot Kepala Kantor BPN Gresik dan copot Ketua PN Gresik karena tidak mampu menjalankan regulasi dan gagal menafsirkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Perma. Kita merasa di ping pong.
Menanggapi tuntutan aksi demo Forkot tersebut, Kantor pertanahan atau ATR/BPN Gresik melalui Kasi Pengadaan Tanah menyampaikan bahwa tahun 2017 ada kegiatan pengadaan tanah untuk proyek jalan tol. Ternyata di atas 3 bidang tanah tersebut terjadi sengketa kepemilikan tanah antara Zainudin Amali dengan saudaranya.
” Karena bersengketa berlarut -larut di pengadilan, akhirnya, uang ganti rugi tanahnya, kami titipkan ke pengadilan sebagai konsinyasi sekitar tahun 2018/2019. Berdasarkan penetapan pengadilan negeri, besaran uang ganti rugi total sebesar Rp. 2,2 miliar,” ujarnya.
Sengketa kepemilikan tanah tersebut, berperkara di pengadilan negeri sampai ke MA. Kemudian keluar putusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Intinya, mereka (Zainudin Amali melalui kuasa hukumnya) minta supaya bisa mengambil uang ganti rugi di pengadilan. Sebenarnya mereka sudah setuju terkait besaran uang ganti rugi, namun masalahnya terjadi sengketa kepemilikan saja.
Untuk BPN pedomannya di Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 tahun 2023, sedangkan di pengadilan berpedoman kepada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2016 juncto Perma No. 2 Tahun 2021, imbuh dia.
Lebih lanjut, Kasi Pengadaan Tanah menjelaskan bahwa di Perma itu, apabila ada sengketa kepemilikan dan walaupun ada keputusan kekuatan hukum tetap. Menyebutkan tetap ada pengantar dari ketua pelaksana pengadaan tanah ( dalam hal ini Kepala Kantor). Sedangkan di PP kita (BPN) yakni PP No. 39 Tahun 2023, apabila itu ada sengketa tentang kepemilikan tanah maupun berperkara maka tidak perlu pengantar dari ketua pelaksana pengadaan tanah /Kepala Kantor.
Kasi Pengadaan Tanah menekankan secara hierarki, urutan aturan perundang-undangan kan kedudukan PP lebih tinggi dari Perma. Kalau PP mengikat di seluruh Indonesia, kalau Perma mengikat di satu instansi itu saja.
Sebenarnya, kedua Kepala Kantor BPN maupun Kepala PN sudah koordinasi dua kali bertemu, sebelum ada demo. Kita sudah berusaha agar masalah segera kelar.
Pada waktu pertemuan saat itu, disampaikan bahwa BPN tetap berpedoman pada PP dan kita sudah berkoordinasi dan berkirim surat ke kanwil dan Kementrian ATR/BPN, dan dijawab Dirjend Pengadaan Tanah bahwa sengketa kepemilikan tidak perlu surat pengantar.
Kalau PN kemungkinan juga bersurat pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung, hasilnya tetap berpedoman pada Perma.
Bahkan kuasa hukum Zainudin bersurat ke pusat dan sudah dijawab oleh Dirjend Pengadaan Tanah, adapun hasilnya juga sama dengan kita.
” Sesuai PP No. 39 Tahun 2023 pasal 99 ayat 1 menyebutkan pengambilan ganti kerugian yang dititipkan di pengadilan negeri dilakukan oleh pihak yang berhak dengan surat pengantar dari ketua pelaksana pengadaan tanah, dalam hal:
1. Pihak yang berhak menolak bentuk dan besarnya ganti kerugian dan tidak mengajukan keberatan di pengadilan. 2.
Pihak yang berhak menolak bentuk dan besarnya ganti kerugian berdasarkan putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap. 3. Pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui keberadaannya ( no name). 4. Obyek pengadaan tanah yang diberikan ganti kerugian menjadi jaminan di bank, ” tuturnya. (rud)