Semarang ,Sekilasmedia.com– Malam peringatan 100 tahun kelahiran maestro pedalangan **Ki Narto Sabdho** di Museum Ronggowarsito, Semarang, Rabu (27/8), bukan sekadar sajian seni wayang kulit. Lebih dari itu, acara ini menghadirkan perjumpaan lintas generasi: sang maestro legendaris dengan karya abadi, dan dalang muda penuh terobosan, **Ki Sindhunata Gesit Widiharto**.
Dua sosok ini menjadi simbol keterhubungan budaya Jawa. Ki Narto Sabdho dipandang sebagai akar tradisi yang kokoh, sementara Sindhunata tampil sebagai generasi baru yang memberi warna segar, menjanjikan masa depan pedalangan di tengah era digital.
Dari Pakem Luhur ke Sentuhan Milenial
Semasa hidup, Ki Narto Sabdho dikenal sebagai dalang yang teguh memegang pakem. Kisah Mahabharata dan Ramayana ia sajikan dengan daya magis yang membuat penonton larut dalam makna.
Jejak itu diteruskan Ki Sindhunata dengan cara berbeda. Lulusan S3 yang tumbuh dalam keluarga pecinta budaya Jawa ini mengemas pedalangan dengan pendekatan humanis, segar, dan komunikatif. Ia berani bereksperimen: memadukan bahasa gaul, musik yang akrab di telinga generasi muda, hingga busana unik berupa sarung dipadu blazer.
“Wayang tidak harus dipandang kuno. Ia bisa menjadi ikon budaya yang dekat dengan anak muda,” ujar Sindhunata.
Apresiasi Budayawan dan Seniman
Acara ini digagas oleh Bung Kirno (St Sukirno), budayawan Semarang, bersama “Paguyuban Catur Manunggal” (Puji Langgeng, Maju Kareb, Sobokarti, Suharti Laras), dengan dukungan Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jateng.
Pagelaran lakon “Sang Kumbakarna” malam itu kian semarak dengan kehadiran seniman senior Abah Kirun. Deretan budayawan, akademisi, hingga pejabat Dinas Kebudayaan Kota Semarang juga turut hadir. Kehadiran mereka dinilai sebagai bentuk nyata dukungan terhadap pelestarian budaya.
Strategi Kebudayaan
Pagelaran ini tak berhenti pada fungsi hiburan. Ia menjelma sebagai strategi kebudayaan: bagaimana warisan Jawa mampu menemukan relevansi di era milenial dan digital.
“Ini bukan sekadar nostalgia. Tapi regenerasi budaya yang lahir dari inovasi,” ungkap salah satu tokoh budaya dalam sambutan.
Identitas yang Terjaga
Malam itu, Semarang menyaksikan harmoni antara masa lalu dan masa depan. Ki Narto Sabdho dan Ki Sindhunata bertemu dalam satu amanah: menjaga wayang kulit sebagai cermin kebijaksanaan Jawa sekaligus warisan dunia.
Dengan spirit ini, wayang kulit tak lagi sekadar perayaan. Ia menjadi **investasi kultural** agar identitas bangsa tetap hidup dalam setiap suluk, denting gamelan, dan bayangan wayang yang menari di layar kelir.
Penulis : Dwi Saptono