Ini Komentar Para Ilmuan Terkait Pemindahan Ibukota Indonesia

Ini Komentar Para Ilmuan Terkait Pemindahan Ibukota Indonesia
foto Ini Komentar Para Ilmuan Terkait Pemindahan Ibukota Indonesia
Ini Komentar Para Ilmuan Terkait Pemindahan Ibukota Indonesia
foto Ini Komentar Para Ilmuan Terkait Pemindahan Ibukota Indonesia

JAKARTA, Sekilasmediacom – Persoalan yang tengah dihadapi Indonesia saat ini adalah ancaman Jawa Collapse. Beberapa tahun yang lalu para ilmuwan dan profesional di bidang lingkungan hidup sudah mengkhawatirkan fenomena Pulau Jawa, yang disebabkan oleh terjadinya proses kehancuran ekologi secara masif. Kini mereka terhimpun dalam Perkumpulan Profesional Lingkungan, dengan para anggota yang sudah melengkapi diri dengan sertifikat kompetensi bidang lingkungan hidup. Visi perkumpulan tersebut menjadi pengawal pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Pada tahun 2010, para ahli dan profesional lingkungan hidup Indonesia berkumpul di Jakarta, menggelar seminar tentang kelayakan lingkungan lbu Kota Negara. Dalam seminar sudah diingatkan perlunya lbu kota Negara segera pindah dari Pulau Jawa. Pandangan tersebut didasari atas pengamatan dan analisis terhadap kondisi media lingkungan hidup Jawa yang semakin cemar dan rusak. Namun ekonom senior Prof. Emil Salim memberikan pandangan lain, bahwa memindahkan lbu Kota Negara akan sangat memberatkan beban anggaran Negara. Demikian juga Anies Baswedan, Ph.D., Rektor Universitas Paramadina ketlka itu, yang memberikan pandangan untuk memisahkan pusat bisnis dari ibu kota Negara. Pemerintah ketika itu kemudian mengambil kebijakan greater Jakarta, dengan konsep memperluas dan menggabungkan pengelolaan Jakarta dengan kota-kota sekitarnya.

Secara bersamaan terbit tulisan Java Collapse, yang menceritakan tata pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, dan terjadinya banjir di Jakarta dan kota-kota lainnya dan kasus lumpur panas di Sidoarjo. Kekhawatiran kehancuran ekologi Jawa terus berlanjut, diantaranya ketika industri semen semakin diberi kesempatan di Pulau Jawa. Para ilmuwan pun mengeluarkan petisi kepada Presiden atas keprihatinan tersebut.

Pemerintah, melalui Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Jawa, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2015 menerbitkan hasil kajian daya dukung dan daya tampung Pulau Jawa, yang menggambarkan kondisi lingkungan hidup di Jawa yang semakin rusak.

Menurut data yang didapat (dilansir dari tempo.co), diketahui bahwa, Kualitas Lingkungan Hidup Jakarta, pada tahun 2010 Bappenas menegaskan permasalahan sosial dan lingkungan hidup di Jakarta sudah sangat nyata. Berbagai fenomena konflik sosial, kerentanan sosial yang tinggi, penyakit baik fisik maupun psikis, tingkah laku sosial yang negatif, dan menurunnya prestasi kerja. Penurunan kualitas lingkungan hidup terlihat dari Indeks

Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dimana DKI Jakarta mendapat predikat terburuk, kondisi hidrologi yang mencemaskan, dan kapasitas daya dukung lingkungan yang rendah.

BACA JUGA :  Jadi Tulang Punggung Ekonomi Nasional, Stafsus Menkominfo: 19,1 Juta UMKM Telah Terdigitalisasi

“Pada tahun 2019 ini kita semakin terperangah menyaksikan kualitas udara di Jakarta terburuk di dunia. Berdasarkan US Air Quality Index (AQI), pada tanggal 8 Agustus 2019 pukul 11.40 WIB, kualitas udara Jakarta tercatat di angka 156 kategori tidak sehat, dengan parameter PM 2,5 konsentrasi 64.4 ug/m’. Posisi kedua untuk kualitas udara terburuk di dunia diisi oleh Dubai, United Arab Emirates dengan indeks kualitas udara 152 dengan status udara tidak sehat setara dengan parameter PM 2.5 konsentrasi 56.6 ug/m3,” ujar Tasdiyanto Rohadi, ketua umum Perkumpulan Profesional Lingkungan.

Hasil pemantauan KLHK (2018) menunjukkan paparan PM 2,5 rata-rata tahunan 39 ug/mS, yang masuk kategori tidak sehat. Hasil pemantauaan DLH DKI Jakarta menunjukkan data antara 29-102 ug/m3 dengan rata-rata tahunan 43 ug/m3 yang juga masuk kategori yang sama, tidak sehat. Sementara data dari kedutaan Besar Amerika Serikat menunjukan paparan PM 2,5 antara 10-194 ug/m3 atau rata-rata tahunan 45,6 ug/ma, yangjuga menegaskan kondisi udara tidak sehat.

Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) memaparkan dampak pencemaran udara terhadap kesehatan. Berbagai penyakit yang ditimbulkan, seperti ISPA, iritasi mata dan kulit, alergi, pneumonia, asma, bronchopneumonia, COPD (Chronicle Obstructive Pulmonary Dieses) atau penyempitan saluran pernafasan, jantung coroner, kanker, gangguan fungsi ginjal, hingga kematian dini.

“Selain kualitas udara tersebut, kondisi media air di Jakarta juga sangat memperihatinkan. Kajian daya dukung lingkungan yang dilakukan P36 Jawa KLHK menunjukkan Koefisien Jasa Ekosistem (KJE) penyedia air bersih DKI Jakarta ada pada zona merah (KJE 0,00 0,16), yang berarti sangat rendah. Demikian juga daya tampung lingkungan ekosistem pemurnian air (KJE 0,00 0,32), tata aliran air dan banjir (KJE 0,00 0,27), serta pengolah dan pengurai limbah (0,00 0,22), yang ketiganya juga sangat rendah,” lanjut Tasdiyanto.

Kondisi media lingkungan hidup tersebut memberikan indikasi kualitas lingkungan hidup yang tidak sehat di Jakarta. Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab Negara sesuai Undang-Undang Dasar 4S Pasal 28 H ayat (1), yang menegaskan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Lantas apa kebijakan Pemerintah seharusnya?

Keputusan kepindahan lbu Kota Negara dari Pulau Jawa telah ditetapkan Presiden Joko Widodo. Pada Pidato dalam sidang tahunan DPR dan DPD tanggal 16 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo telah memohon ijin kepada anggota Dewan, para sesepuh dan rakyat Indonesia untuk memindahkan lbu Kota Negara ke Kalimantan.

BACA JUGA :  LPSK Klarifikasi Video Kerusuhan di Kanjuruhan yang Hilang

Bappenas telah mengkaji secara komprehensif dari aspek lingkungan hidup, ekonomi, sosial, budaya serta pertahanan keamanan. Berbagai diskusi digelar dengan mendialogkan tantangan dan peluang yang ada. Kondisi lahan bergambut dan seringnya terjadi kebakaran lahan dan hutan menjadi faktor pembatas. Namun, berbagai kelebihan Iain telah menguatkan keputusan untuk memindahan lbu Kota Negara ke Pulau Kalimantan.

Di tengah dialog dan adu argumentasi para ilmuwan, Perkumpulan Profesional Lingkungan seluruh Indonesia secara rasional memberikan dukungan atas rencana kepindahan lbu Kota Negara dari Pulau Jawa. Hal tersebut dilakukan dengan berbagai pertimbangan, terutama;

1. Kepindahan lbu Kota Negara dari Pulau Jawa, akan menyelamatkan ekologi Jawa yang terancam collaps;

2. Memberikan kesempatan perencanaan kota yang Iebih baik untuk lokasi lbu Kota Negara yang akan dibangun, terutama dengan tata ruang, AMDAL, dan infrastuktur lingkungan;

3. Pulau Kalimantan merupakan titik tengah wilayah Indonesia, yang akan memberikan efek akses yang seimbang dan adil bagi seluruh daerah di Indonesia;

4. Pulau Kalimantan Iebih aman dari ancaman gempa bumi, dan kelemahan berupa potensi kebakarah lahan dan hutan akan Iebih terperhatikan dan semakin tertangani;

5. Kepindahan lbu Kota Negara ke Pulau Kalimantan akan memberikan efek domino pemerataan pembangunan, pemerataan ekonomi, kestabilan sosial, politik dan budaya;

6. Kepindahan lbu Kota Negara ke Pulau Kalimantan akan menciptakan pusat peradaban baru bagi Bangsa Indonesia.

Dalam rangka mengelola kawasan lbu Kota Negara yang baru perlu direkomendasikan kepada Pemerintah untuk membentuk Badan Pengelola lbu Kota Negara, yang berfungsi mengharmonisasikan kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah setempat. Badan ini juga perlu memiliki kewenangan khusus untuk mengoordinasikan proses pembangunan serta pengelolaan kawasan terbangun lbu Kota Negara.

Dukungan ini disampaikan atas dasar perspektif keilmuan, yang sudah sejak tahun 2010 dikaji oleh para profesional dan ahli lingkungan hidup. Ketika dalam perkembangannya rencana kepindahan lbu Kota Negara menjadi konsumsi polntik nasional, perkumpu|an profesional lingkungan tetap berpandangan positif dan konstruktif, sepanjang menghasilkan kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi rakyat Indonesia dan generasi mendatang.(tri)