Sekilasmedia.com-Belakangan ini, istilah feodalisme pesantren kerap berseliweran di media sosial dan forum akademik. Ada yang menuduh pesantren sebagai ruang yang menumbuhkan kepatuhan buta, menindas kebebasan berpikir, dan menolak kritik. Santri dianggap “kolot”, “anti-modern”, bahkan “buta teknologi”. Narasi-narasi semacam ini tumbuh dari cara pandang modern yang serba rasional, yang menilai segala sesuatu berdasarkan ukuran dunia sekuler — dan gagal memahami dimensi ruhani yang hidup di dunia pesantren.
Padahal, apa yang mereka sebut “feodalisme” itu bukanlah bentuk perbudakan sosial, melainkan sistem adab dan transmisi spiritual yang sudah ratusan tahun menjaga warisan Islam Nusantara. Di balik kepatuhan santri terhadap kiai, tersembunyi makna terdalam dari ta’dhim, yakni pengakuan bahwa ilmu tidak hanya lahir dari logika, tetapi juga dari barokah — keberkahan yang memancar dari hati yang ikhlas.
1. Salah Tafsir terhadap Adab
Bagi banyak orang luar pesantren, relasi kiai dan santri tampak tidak egaliter. Santri tidak memotong pembicaraan kiai, menunduk saat berbicara, mencium tangan, bahkan rela menanggung tugas-tugas yang kelihatannya “rendah” seperti mencuci piring kiai atau membersihkan halaman pesantren.
Dari pandangan luar, hal-hal ini tampak feodal. Tapi bagi santri, semua itu bukan bentuk perbudakan, melainkan latihan spiritual. Dalam tasawuf, kerendahan hati adalah jalan pertama menuju ilmu. Adab lebih tinggi dari ilmu karena ia memurnikan niat.
Feodalisme itu menindas karena memaksa; sementara adab itu memerdekakan karena menundukkan ego. Santri tidak diperintah untuk tunduk demi kepentingan kiai, tetapi diajarkan untuk menundukkan kesombongan dirinya sendiri. Di dunia pesantren, menunduk bukan tanda takut, tapi tanda sadar bahwa di hadapannya berdiri orang yang telah menjadi perantara ilmu Allah.
2. Kiai dan Otoritas Ruhani
Filsafat modern menilai otoritas berdasarkan rasionalitas: seseorang diakui karena argumentasinya bisa diuji. Tapi pesantren bekerja dengan cara berbeda. Kiai memiliki otoritas bukan karena kekuasaan administratif, melainkan karena otoritas ruhani — hasil dari perjalanan panjang spiritual dan keilmuan.
Inilah yang sering salah baca. Di luar pesantren, hubungan guru-murid adalah kontrak sosial: murid membayar, guru mengajar. Di pesantren, hubungan itu adalah silsilah ruhani: murid menempuh jalan guru, bukan sekadar menerima informasi darinya.
Orang luar melihat kiai dihormati secara berlebihan, tapi lupa bahwa di balik penghormatan itu ada keyakinan teologis: kiai adalah waratsatul anbiya. Menghormati kiai bukan kultus individu, melainkan bagian dari penghormatan terhadap aktifitas intelektual yang didasari oleh etika.
Ketika santri takdzim di hadapan kiai, itu bukan tanda ketakutan, melainkan bentuk kesadaran: bahwa tanpa guru cahaya keilmuan tidak akan sampai.
3. Pesantren dan Kesetiaan terhadap Tradisi
Menuduh pesantren feodal sama saja menolak sejarah bangsa sendiri. Dari pesantrenlah lahir banyak tokoh yang mengubah wajah Indonesia:
KH. Hasyim Asy’ari dengan Nahdlatul Ulama-nya, KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya, KH. Wahid Hasyim yang memperjuangkan integrasi pendidikan Islam dan umum, hingga KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjembatani Islam dan demokrasi.
Mereka bukan lahir dari ruang gelap yang mematikan pikiran, tetapi dari ruang yang menyalakan cahaya. Sistem ta’dhim dan khidmah di pesantren justru membentuk insan yang matang secara spiritual dan intelektual. Santri belajar berpikir, tapi juga berkhidmah; belajar membaca kitab, tapi juga membaca realitas sosial bangsanya.
Saya sering melihat sendiri, banyak alumni pesantren kini menjadi dosen, wartawan, diplomat, peneliti, bahkan content creator dakwah digital. Mereka tidak kehilangan akar, tapi justru tumbuh dari akar itu. Pesantren mengajarkan keseimbangan antara dzikir dan fikir, antara kecerdasan dan kebeningan hati. Dunia modern mengajarkan kecepatan; pesantren mengajarkan kedalaman. Dunia modern mengejar sorotan; pesantren menumbuhkan keheningan yang produktif.
4. Santri dan Dunia Modern
Tuduhan bahwa santri “buta teknologi” juga tidak sepenuhnya benar. Justru banyak inovasi moral lahir dari pesantren. Banyak santri hari ini menjadi intelektualis, penulis, peneliti, hingga aktivis sosial politik. Mereka mengintegrasikan dzikir dan fikir — tidak menolak kemajuan arus globalisasi, tapi beradaptasi dengan penuh ke hati-hati an.
Di tengah dunia modern yang serba cepat dan dangkal, pesantren adalah oase kontemplatif. Santri diajarkan berpikir, tapi juga menimbang makna; diajarkan membaca, tapi juga mendengarkan nurani. Modernitas sering mengajarkan kecepatan, sementara pesantren mengajarkan kedalaman.
Mereka yang menilai pesantren feodal sering lupa bahwa kebebasan tanpa bimbingan hanya melahirkan kekacauan. Sedangkan di pesantren, kebebasan lahir melalui proses disiplin spiritual — mujahadah, latihan jiwa. Itulah kebebasan yang beradab, bukan liar.
5. Filsafat dan Tasawuf: Membaca Pesantren dengan Kedalaman
Jika dibaca melalui filsafat eksistensial, pesantren adalah ruang di mana manusia menemukan makna dirinya. Di sini, individu tidak dibentuk untuk menjadi robot intelektual, melainkan insan kamil — manusia paripurna yang seimbang antara rasio dan rasa.
Dalam tasawuf, hubungan murid dan guru bukan hubungan kuasa, melainkan perjalanan cinta (mahabbah). Seorang murid tunduk bukan karena takut, tapi karena cinta. Itulah sebabnya, banyak santri tetap setia kepada kiai mereka meski sudah puluhan tahun lulus, karena hubungan itu bukan administratif, tapi spiritual.
Tasawuf mengajarkan bahwa ilmu tanpa adab akan menjadi bencana. Maka, adab kepada guru bukan bentuk feodalisme, melainkan jalan untuk menjaga agar ilmu tetap suci. Sebab, ilmu yang tidak disertai hormat hanya melahirkan kesombongan intelektual — dan inilah yang sering terjadi di dunia modern yang kehilangan ruh spiritual.
6. Menjawab Tuduhan Modernitas
Mereka yang menuduh pesantren feodal sering lupa bahwa sistem modern pun punya feodalismenya sendiri — hanya saja dalam bentuk baru. Lihat saja bagaimana budaya akademik modern sering menuhankan gelar, mengejar validasi, dan tunduk pada algoritma kapital. Di kampus, dosen bisa lebih berkuasa dari mahasiswa. Di kantor, manajer lebih absolut daripada kiai.
Feodalisme tidak hanya soal bentuk, tapi soal hati yang ingin dihormati. Jika pesantren dituduh feodal karena ada penghormatan pada guru, maka kampus modern pun bisa dituduh feodal karena menyembah popularitas dan jabatan. Bedanya, di pesantren, penghormatan itu diarahkan untuk Allah; di dunia modern, sering diarahkan untuk ego.
7. Pesantren, Ruang Adab dan Kebebasan
Pesantren bukan ruang feodalisme, melainkan ruang ta’dhim — tempat manusia belajar menundukkan diri agar bisa berdiri tegak di hadapan Tuhan. Mereka yang menilai pesantren feodal sesungguhnya belum paham bahasa ruhani yang hidup di sana.
Santri menghormati kiai bukan karena takut, tapi karena sadar: tanpa guru, ilmu tidak akan sampai. Mereka mencium tangan bukan untuk merendahkan diri, tapi untuk menyambung doa dan barokah.
Pesantren bukan ruang kegelapan, melainkan taman cahaya yang mengajarkan keseimbangan antara dzikir, fikir, dan amal. Dunia modern mungkin bisa membuat manusia pintar, tapi pesantren berusaha menjadikan manusia bijak. Dan di antara keduanya, bijaklah yang lebih langka.
Maka, ketika ada yang menuduh pesantren feodal, biarlah kita jawab dengan karya dan akhlak: bahwa kami santri bukanlah budak kekuasaan, tapi murid dari peradaban yang telah berabad-abad menjaga akal dan hati bangsa ini.





