Daerah

Tanggapi Tuduhan Negatif Trans7, Rektor IAI At-Taqwa Bondowoso: Pesantren Bukan Lembaga Feodal, Tapi Benteng Moral

×

Tanggapi Tuduhan Negatif Trans7, Rektor IAI At-Taqwa Bondowoso: Pesantren Bukan Lembaga Feodal, Tapi Benteng Moral

Sebarkan artikel ini
Dr. Suheri, M.Pd.I, Rektor IAI At-Taqwa Bondowoso, saat diwawancarai sekilasmedia.com di ruang rektor kampus, Selasa (22/10). (Foto Rifky Gimnastiar/SM)

Bondowoso, sekilasmedia.com — Rektor Institut Agama Islam (IAI) At-Taqwa Bondowoso, Dr. Suheri, M.Pd.I, menegaskan bahwa pesantren tidak bisa disamakan dengan lembaga yang bersifat feodal. Ia menilai, pandangan yang menempatkan pesantren dalam kerangka feodalisme merupakan kesalahpahaman terhadap tradisi keilmuan Islam di Nusantara.

Pernyataan itu disampaikan Dr. Suheri dalam wawancara eksklusif bersama sekilasmedia.com pada Selasa (22/10/2025), di ruang rektor kampus IAI At-Taqwa Bondowoso, usai kegiatan peringatan Hari Santri Nasional 2025.
Menurutnya, pesantren justru menjadi penjaga nilai moral, etika, dan kesantunan di tengah derasnya arus informasi digital yang kerap bias dan menyesatkan. “Pesantren itu benteng moral bangsa.

Dalam menyikapi situasi apa pun, termasuk kritik dan framing negatif, santri harus tetap berpegang pada nilai adab dan kesantunan,” ujarnya.
Dr. Suheri menegaskan, etika dan akhlakul karimah adalah napas utama kehidupan pesantren. Bahkan ketika pesantren mendapat tudingan tidak proporsional, santri diajarkan untuk tetap merespons dengan kebaikan.

“Sekalipun yang datang itu buruk, santri wajib membalas dengan cara yang baik. Kebaikan itu bukan hanya pada isi, tapi juga pada tutur dan cara menyampaikannya,” katanya menekankan.

Ia juga mengingatkan pentingnya kehati-hatian publik, termasuk lembaga penyiaran, dalam memahami kehidupan pesantren. Banyak pihak, menurutnya, keliru menafsirkan penghormatan santri terhadap kiai sebagai bentuk feodalisme.

“Mereka mengira penghormatan santri kepada kiai itu perbudakan. Padahal itu ekspresi cinta dan adab murid terhadap gurunya,” tegasnya.
Lebih jauh, Dr. Suheri menjelaskan bahwa penghormatan di pesantren merupakan bagian dari tradisi ilmu dan spiritualitas Islam. Santri yang berkhidmat kepada kiai atau membantu kebutuhan pondok bukanlah bentuk penindasan, melainkan wujud pengabdian tulus untuk memperoleh barokah ilmu.
“Khidmat itu bukan kerja paksa, tapi pengabdian yang ikhlas.

Di masa Rasulullah pun, para sahabat seperti Bilal bin Rabah dan ahli sufa berkhidmat dengan penuh cinta. Jadi konteksnya spiritual, bukan sosial feodal,” paparnya.
Ia menambahkan, banyak hal yang tampak “aneh” bagi orang luar pesantren sebenarnya sarat makna adab. Misalnya, cara santri berjalan sopan di depan kiai atau mencium tangan sebagai bentuk penghormatan. “Itu bukan feodalisme, melainkan ekspresi cinta dan penghormatan khas pesantren Nusantara,” jelasnya.

Dalam konteks Hari Santri Nasional, Dr. Suheri menyoroti pentingnya jihad digital di kalangan santri. Tantangan santri masa kini, katanya, bukan lagi perang fisik seperti era resolusi jihad 1945, melainkan perang pemikiran dan narasi di dunia maya.

“Santri sekarang harus siap berjihad dengan ilmu dan teknologi. Jihadul ilmi dan jihad digital sangat relevan di era sekarang. Santri harus mampu melawan hoaks dan framing negatif dengan narasi cerdas dan mencerahkan,” ujarnya.
Selain itu, jihad santri masa kini juga mencakup jihadun nafs—perjuangan melawan hawa nafsu. “Santri harus terus berdisiplin, melatih diri, dan berjuang dengan cara yang damai serta berilmu,” tambahnya.

Rektor kampus dengan ikon “Kampus Santri” itu menilai, kesalahpahaman publik terhadap pesantren sering muncul karena minimnya narasi positif di ruang digital. Ia mendorong pesantren agar lebih aktif menciptakan konten edukatif dan inspiratif di media sosial.

“Pesantren perlu memperkuat narasi digital, bukan untuk membalas, tapi untuk mencerahkan. Banyak orang belum memahami pesantren secara utuh. Mereka baru bisa memahami jika pernah nyantri,” pungkas Dr. Suheri.