Ft. Yudi, Achmad Heri dan Titik |
Reporter: Siswahyu
SURABAYA (Sekilasmedia.Com)
Sejak diberlakukannya aturan SMA/SMK ‘diambil-alih’ ke bawah naungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, sejak tahun 2017 lalu, menimbulkan banyak gejolak di kalangan wali murid karena kian banyak beban yang ditanggung-wali murid. Tidak malah meringankan.
Bahkan, untuk Kabupaten/Kota yang SMA-SMK-nya sudah gratis sebelum adanya aturan itu, seperti Kota Surabaya misalnya, kini malah menjadi tidak gratis lagi. Tentu suatu efek aturan yang aneh jika justru sampai menggugurkan hal-hal yang menjadi hak dasar meringankan rakyat.
Harusnya kian tahun kian banyak hal-hal gratis yang didapat masyarakat sebagai bentuk pelayanan negara/pemerintah, dari pusat hingga daerah. Bukan malah kian lama kian tambah beban. Jika kian tambah beban dan tanpa diimbangi menguatnya daya rakyat, berarti juga menjadi salah satu indikator gagalnya negara, termasuk pimpinan provinsi, Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim.
Hal itu diungkap Suheri, S.Pd pemerhati soal pendidikan, dalam diskusi awal tahun Peta Pendidikan Jatim, yang diadakan di Surabaya.
“Negara harus hadir dalam posisi untuk meringankan rakyat, menciptakan kesejahteraan sesuai amanat Proklamasi,” kata Suheri.
Pada bagian lain Siswahyu Forum Peduli Jatim menyoroti budaya salah kaprah yang tetap banyak terjadi di Indonesia, termasuk dalam bidang pendidikan, ganti menteri ganti aturan tapi sayangnya sering kali bukan justru meringankan beban rakyat.
“Harusnya aturan tidak harus selalu berganti. Yang penting adalah kepentingan rakyat. Maksimalisasi kemanfaatan untuk rakyat,” kata Siswahyu penulis buku biografi Asmuni-Srimulat yang pernah dapat beasiswa Community Development dari Asian Social Institute di Manila, Filipina.
Menurutnya perlu diperjuangkan dari pusat hingga ke daerah termasuk provinsi Jatim, diantaranya diupayakan memberi masukan Pemprov Jatim, juga memberi masukan kepada Ahmad Heri ketua Badan Perencana Peraturan Daerah (Baperda) DPRD Provinsi Jatim.
Ada pula peserta menyoroti guru, terutama guru PNS yang sudah bersertifikasi sehingga gaji seperti ‘dobel’ agar kinerjanya lebih baik dibanding yang belum PNS maupun yang belum sertifikasi.
“Umpama ada guru PNS dan sertifikasi tapi malas, mending sebagian gajinya dialihkan untuk nambahi gaji guru honorer dan non-PNS, agar lebih adil,” kata mereka. “Toh mereka yang bergaji tinggi juga tidak berdampak signifikan bagi kemajuan dunia pendidikan,” tambahnya.
Sekadar catatan, guru PNS dan sertifikasi gajinya bisa Rp.6 juta lebih, sedangkan guru swasta dan honorer banyak yang dibawah Rp.700 ribu. Pendapat Anda? Sms atau WA kesini= 081216271926.