Sekilasmedia.com-Masalah ketenagakerjaan di Indonesia tetap menjadi tantangan signifikan bagi perekonomian dan kesejahteraan sosial. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2024, jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 152,11 juta orang, dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) sebesar 68,72% . Meskipun ada peningkatan jumlah angkatan kerja, tingkat pengangguran terbuka (TPT) masih tercatat sebesar 4,91% . Selain itu, sektor informal masih mendominasi pasar tenaga kerja. Pada Agustus 2024, sebanyak 60,81 juta orang (42,05%) bekerja di sektor formal, sementara sisanya bekerja di sektor informal. Pekerja di sektor informal seringkali menghadapi tantangan seperti ketidakpastian pendapatan, kurangnya jaminan sosial, dan keterbatasan akses terhadap pelatihan keterampilan.
Selain itu kesenjangan keterampilan dan minimnya kesempatan kerja juga menjadi isu penting. Banyak lulusan pendidikan menengah dan tinggi yang kesulitan memasuki pasar kerja karena ketidakcocokan antara keterampilan yang dimiliki dengan kebutuhan industri. Hingga beberapa akhir waktu ini sempat ramai tagar #KaburAjaDulu sebagai bentuk ekspresi masyarakat, khususnya netizen membahas cara kabur dengan mencari peluang bekerja di luar negeri. Dalam rangka menjawab tantangan yang muncul menjadi penting kolaborasi lintas sektor yang tidak hanya fokus pada penciptaan lapangan kerja, tetapi juga pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan tenaga kerja. Selain itu dalam praktik kolaborasi menjadi penting juga untuk mewujudkan good governance dari UNDP yang prinsipnya pengelolaan yang efektif, adil, transparan, dan akuntabel untuk menciptakan tata kelola ketenagakerjaan yang berkelanjutan
Selama ini pemerintah Indonesia telah menjalankan berbagai kebijakan dan program untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan, dengan fokus pada penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak dan peningkatan keterampilan tenaga kerja, seperti pelaksanaan Program Kartu Prakerja, Program Padat Karya, hingga adanya fasilitasi Kredit Usaha Rakyat. Yang terbaru pemerintah telah menerbitkan aturan baru untuk para karyawan korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tertuang dalam PP no. 6 tahun 2025 atas perubahan PP no. 37 tahun 2021 tentang penyelenggaraan program jaminan kehilangan pekerjaan mengatur karyawan korban PHK akan mendapatkan manfaat uang tunai per bulan sebesar 60% dari upah terakhir maksimal selama 6 bulan. Peraturan yang diteken oleh presiden dalam rangka meningkatkan pelindungan dan kesejahteraan serta mengurangi risiko sosial bagi pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena dampak kondisi perekonomian sehingga pemerintah perlu menerbitkan kebijakan yang adaptif. Peran sektor swasta dan masyarakat juga tidak terlepas dalam proses mengingat kemitraan adalah hal yang sering digaungkan dalam lini kepemerintahan akhir-akhir ini. Menurut data Bank Dunia, sektor swasta mempekerjakan sekitar 90% tenaga kerja dan berkontribusi besar terhadap investasi dan penerimaan negara. Perusahaan swasta juga berinisiatif dalam pelatihan dan pemberdayaan yang utamanya masyarakat sebagai penerima keterampilan dalam bentuk program Corporate Social Responsibility (CSR), kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, dan juga Lembaga Pelatihan Kerja Swasta (LPKS).
Walaupun kolaborasi lintas sektor memiliki peran krusial dalam menciptakan tata kelola ketenagakerjaan karena setiap sektor membawa kekuatan dan keahlian yang dapat saling melengkapi, namun tetap menemui hambatan dalam melaksanakan seperti kesulitan dalam sinkronisasi seperti pemerintah lebih fokus pada kebijakan makro-ekonomi, sementara sektor swasta lebih fokus pada efisiensi bisnis dan pengembalian investasi yang menyebabkan kesulitan dalam menyelaraskan kebijakan yang saling mendukung. Temuan hambatan lain seperti kurangnya pendekatan holistik karena pelaksanaan kolaborasi lebih berfokus pada solusi jangka pendek dan tidak melihat tantangan yang lebih luas. Seringkali agenda kemitraan tidak menjawab masalah mendasar yang ada, seperti kesenjangan keterampilan jangka panjang yang harus ditangani dengan pelatihan yang lebih berkelanjutan, atau kurangnya perhatian terhadap sektor informal. Akibatnya, meskipun ada niat baik dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kualitas tenaga kerja, kebijakan yang dihasilkan kurang efektif dan tidak memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat luas.
Untuk menciptakan tata kelola ketenagakerjaan yang berkelanjutan, hal utama yang perlu diperhatikan adalah bahwa penciptaan lapangan kerja harus sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam menghadapi permasalahan kesenjangan keterampilan dan minimnya kesempatan kerja di Indonesia, kolaborasi antar sektor memerlukan upaya yang lebih terkoordinasi, adaptif, dan terarah.
Masalah ketenagakerjaan membutuhkan kepemimpinan yang kuat dari pemerintah untuk mengarahkan berbagai pihak agar tetap fokus pada tujuan jangka panjang. Namun, seringkali terdapat ketidaksesuaian antara perumusan kebijakan dan pelaksanaannya di lapangan, sehingga pengelolaan ketenagakerjaan tidak berjalan secara optimal. Oleh karena itu, momentum perbaikan ketenagakerjaan hendaknya tidak hanya berlandaskan pada prinsip good governance, tetapi juga memperhatikan estimasi terhadap permasalahan yang bersifat struktural, seperti dinamika demografi, perubahan pola industri, serta ketahanan sosial masyarakat.
Dengan demikian, kolaborasi antar sektor tidak hanya harus responsif terhadap kebutuhan jangka pendek, tetapi juga mampu mengantisipasi tantangan jangka panjang, seperti transformasi digital, krisis iklim, dan perubahan pasar global. Tata kelola ketenagakerjaan yang efektif harus bersifat inklusif, memperkuat dialog sosial antar pihak, serta mendorong inovasi dalam kebijakan untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki akses yang adil terhadap peluang ekonomi yang berkelanjutan.