Hukum

Kenapa Izin Tambang Perguruan Tinggi Menuai Penolakan?

×

Kenapa Izin Tambang Perguruan Tinggi Menuai Penolakan?

Sebarkan artikel ini
foto: ilustrasi

Sekilasmedia.com-Perguruan tinggi diberi kesempatan untuk kelola pertambangan ,Sekitar bulan Januari akhir lalu, Badan Legislasi DPR RI menggelar rapat pleno dalam rangka Revisi Rancangan Undang-Undang keempat, tepatnya pada UU No. 2 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Usulan inisiatif DPR RI tersebut kemudian ditetapkan sebagai Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) pada Rapat Paripurna kedua Masa Persidangan Tahun 2025 yang berlangsung di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (23/01/2025). Adapun empat poin perubahan yang diajukan mencakup percepatan hilirisasi mineral dan batubara, aturan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk ormas keagamaan, pemberian IUP kepada perguruan tinggi, serta pemberian IUP untuk UMKM. Dengan dampak signifikan yang dapat ditimbulkan lewat pernyataan tersebut, perubahan ini kemudian menjadi sorotan media massa.

Sorotan utama nampak pada keputusan Badan Legislasi yang terburu-buru. Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan marathon ini terkesan seperti dikejar oleh waktu. Merupakan pertimbangan yang cepat untuk menyetujui perubahan yang begitu besar. Di samping itu, subjek perubahan juga menjadi hal krusial untuk diperhatikan. Pasal tambahan 51A dalam RUU Minerba menyebutkan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dapat diberikan kepada perguruan tinggi melalui skema prioritas, dengan pertimbangan luas wilayah; status akreditasi; serta peningkatan akses dan layanan masyarakat.

Komisi XII DPR RI Fraksi Gerindra menegaskan pertimbangan usulan ini dengan penganjuran pembentukan badan manajerial oleh perguruan tinggi. Dengan begitu, institut maupun universitas dapat memutar keuntungan tanpa menghadapi krisis yang mengkhawatirkan. IUP diberikan dengan dengan pertimbangan potensial, sehingga pemerintah dapat memastikan pemberi modal badan pengelola dapat mempercayai proses kerja samanya nanti.

Skema tersebut memberikan keuntungan berupa perputaran dana yang nantinya dapat meringankan kebutuhan perguruan tinggi, termasuk kemungkinan penurunan uang kuliah tunggal yang harus ditunaikan mahasiswa. Hasil keputusan pun disetujui oleh seluruh fraksi. Faktor utama yang mendorong kesimpulan ini adalah hilirisasi mineral dan batubara untuk swasembada energi. Namun, hal ini tak ayal masih menjadi kontroversi. Bukan hanya ancaman ekses lingkungan yang menghantui, adapun keberlangsungan akademik yang terpojokkan. Maka dari itu, terdapat beberapa argumen kuat yang membuat Revisi RUU Minerba keempat ini layak ditinjau ulang. Keseimbangan Pendidikan dan Keasrian Lingkungan

Darmanigtyas, selaku pakar pendidikan nasional, menanggapi perubahan RUU Minerba dalam analogi teori Carrot and Stick. Peluang yang dijanjikan dari pengelolaan tambang memang dapat meringankan beban perguruan tinggi, baik untuk pemenuhan finansial maupun peningkatan kemampuan sumber daya. Namun, risiko yang perlu dihadapi tidak kalah berpengaruh. Meskipun pemerintah memberi ruang terbuka bagi institut dan universitas untuk membentuk badan manajerial tambang yang potensial, pengelolaan tambang tentu membutuhkan modal fantastis.

Etika perguruan tinggi sebagai prestise akademik terpercaya di hadapan masyarakat dipertaruhkan untuk jaminan modal tambang.

Di samping itu, jika benar terlaksana, skema prioritas pemberian WIUP hanya akan menguntungkan bagi perguruan tinggi dengan privilege sarana prasarana serta sumber daya yang mapan. Alih-alih mendorong perkembangan dunia pendidikan secara praktikal, hal ini berpotensi menimbulkan kesenjangan antara perguruan tinggi satu dan lainnya. Badan yang maju hanyalah badan dengan fasilitas material dan non material yang telah berkembang dari awal. Prioritas ini tidak akan berlaku dalam jangka waktu lama. Apalagi dengan adanya peluang terbuka untuk pengelolaan tambang, perguruan tinggi akan menuai masalah baru terkait isu kerusakan lingkungan. Tidak akan ada argumen penegakkan kelestarian lingkungan yang objektif lagi apabila perguruan tinggi sendiri ikut andil dalam pemanfaatan sumber daya alam secara masif. Kepentingan dan Daya Guna Sumber Daya

Percepatan hilirisasi sangat diapresiasi. Indonesia bisa lebih cepat mewujudkan swasembada energi. Di samping itu, sektor ekonomi juga dapat berkembang dengan meningkatnya value added (nilai tambah suatu jasa dan produk untuk menunjukkan kualitas dan keunggulan) industri pertambangan dan pendapatan negara. Meskipun demikian, urgensi perubahan RUU Minerba perlu dipertanyakan. Keterlibatan perguruan tinggi sebagai pengelola pertambangan belum mencapai realitas yang sesungguhnya. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Resvani, dalam sesi perbincangan di CNBC Indonesia menyatakan bahwa pertambangan bukanlah industri yang bisa dipertahankan oleh umum walau IUP bisa diajukan oleh siapapun yang mampu mengelolanya. Pertambangan bukan hanya industri padat modal saja, melainkan juga padat karya dan padat teknis.

Manajerial pertambangan tidak dapat dijamin hanya dengan perolehan izin operasi dan modal yang mencukupi. Tata usaha krisis perlu ditekankan lebih jauh untuk mengurangi risiko kecelakaan yang tidak diharapkan. Dalam hal teoritis, perguruan tinggi sangat baik dalam membantu riset dan mempersiapkan inovasi mutakhir dalam dunia pertambangan. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan mikroalga dalam bioremediasi limbah logam berat oleh Institut Teknologi Bandung pada tahun 2016. Akan tetapi, pertimbangan kebijakan ini perlu dikawal secara intensif. Bukan maksud meragukan kemampuan output akademisi, namun peralihan secara praktikal ini perlu dibersamai dengan dukungan pasti dari pemerintahan. Apabila pemerintah hanya menyediakan jaminan izin tanpa modal yang turun langsung dari instansinya, maka perguruan tinggi berisiko ‘basah kuyup’ sendirian menanggung getah krisis di masa depan.

Etika Akademik dan Tri Dharma Perguruan Tinggi

Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi dapat menimbulkan konflik kepentingan. Kebijakan dalam Revisi RUU Minerba keempat ini belum memiliki transparansi yang cukup menjamin untuk kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada menilai memberikan WIUP sama dengan menyeret isu peralihan ekosistem secara berlebihan kepada perguruan tinggi. Ditambah lagi dengan kemungkinan korupsi oleh pihak tak bertanggung jawab, salah satu isu (yang ironisnya) paling marak di Indonesia.

Kebijakan yang melibatkan pendidikan tinggi perlu ditetapkan berdasarkan titik temu Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pemberian WIUP kepada perguruan tinggi berada di luar cakupan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Apabila dilaksanakan tanpa batasan yang kuat, perguruan tinggi berisiko menelan kerugian berupa kegagalan manajerial dan kehilangan kepercayaan masyarakat. Meskipun pengelolaan industri tambang oleh perguruan tinggi dapat membuka peluang praktikal bagi mahasiswa, namun kepentingan seperti ini tidaklah mungkin berjalan secara gegabah. Tidak bisa menyorot keuntungan tanpa memperhitungkan modal dan potensi krisis yang kian meningkat di masa depan.

Intinya, pengkajian lebih lanjut mengenai pemberian WIUP kepada perguruan tinggi sangat diperlukan sebelum RUU akhirnya ditandatangani oleh lembaga eksekutif. Prioritas untuk meningkatkan swasembada energi melalui hilirisasi mineral dan batubara memang sejalan dengan tujuan Indonesia Emas 2045. Akan tetapi, keterlibatan perguruan tinggi dalam praktik industri pertambangan secara langsung tidak terlihat urgensinya. Sebelum diterapkan secara nyata, risiko dan krisis yang sangat mungkin terjadi sudah ada di depan mata. Apabila WIUP pada akhirnya diberikan pada salah satu pemangku pendidikan tinggi, berbagai konflik dapat terjadi kapan saja. Bahkan bercabang ke sektor lain apabila tidak dikawal dengan seksama.

Pengelolaan pertambangan di negara maju, contohnya China, lebih mengedepankan pada restrukturisasi industri besar. Hal ini membuat China lebih memilih untuk mengurangi kapasitas industri pertambangan kecil yang tidak memenuhi standar lingkungan maupun kesehatan. Pertimbangan lain juga didasarkan pada upaya pemulihan udara dari polusi berlebih di sana. Standar industri pertambangan China mungkin belum ideal untuk diterapkan di Indonesia. Namun paling tidak Indonesia bisa mengkaji ulang urgensinya untuk melibatkan dunia pendidikan, organisasi masyarakat, dan usaha mikro kecil menengah dalam sektor bermodal fantastis ini. Kemajuan pendidikan secara realistis dan merata perlu dijadikan pusat pembahasan terlebih dahulu, sebelum akhirnya rencana ini diaplikasikan secara praktikal.

 

penulis: Halwa Khairani, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB University

Editor: kaylla